Birokrasi dan para pejabat perlu memahami bahwa, karena sumberdaya mineral itu sifatnya tidak terbarukan (non renewable resources), dampak dari kerusakan yang ditimbulkan oleh kegagalan tata kelola sumberdaya dan pelanggaran hukum-hukum pertambangan umumnya bersifat lebih lama dan bahkan bisa permanen.
Oleh karena itu, agenda penguatan kelembagaan di sektor pertambangan pada prinsipnya mencakup peningkatan kapasitas, keterampilan, dan kompetensi birokrasi untuk melakukan pengawasan, penegakan, dan pencegahan pelanggaran undang-undang pertambangan.
Lebih dari itu, aparat pemerintah harus menyadari sepenuhnya bahwa kekayaan mineral sangat kuat memengaruhi posisi tawar negara di dunia internasional.
Karena itu, birokrasi tidak boleh naif dengan memandang mineral hanya sebagai komoditas dagang atau objek investasi belaka.
Nikel, misalnya, harus dipahami secara lebih strategis sebagai instrumen vital dalam percepatan transformasi negeri ini menjadi sebuah negara industri, sekaligus menegaskan independensi Indonesia sebagai bangsa secara mondial.
Dalam konteks ini, birokrasi yang mengawal industri pertambangan harus memahami dirinya bukan sekadar pelayan publik yang memfasilitasi urusan perizinan, tetapi jauh lebih penting lagi adalah sebagai benteng penjaga kedaulatan dan ketahanan nasional negara.
Akan tetapi, birokrasi tentunya mengalami keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dalam menghadapi kompleksitas tantangan kedaulatan negara, terutama yang terkait dengan isu-isu strategis dan keamanan nasional.
Oleh karena itu diperlukan dukungan lembaga yang memiliki keahlian spesifik dan infrastruktur yang mumpuni untuk berbagi keterampilan melalui transfer pengetahuan dan kolaborasi secara intensif.
Dengan urgensi ini, negara perlu menimbang secara serius pelibatan lembaga-lembaga strategis, seperti Badan Intelijen Negara (BIN) atau Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI) yang lebih menguasai aspek pengamanan kedaulatan dan ketahanan nasional khususnya dalam konteks untuk meningkatkan kapasitas birokrasi tersebut.
Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa peran lembaga-lembaga strategis itu tidak dalam rangka mengambil alih atau terlibat dalam fungsi-fungsi birokrasi.
Interaksi mereka dibatasi sebagai katalis, misalnya, dalam rangka memfasilitasi birokrasi mengembangkan strategi mitigasi konflik sosial.
Mereka tentunya juga sangat berkompeten dalam menyediakan analisis untuk membuka wawasan aparat pemerintah tentang geopolitik mineral dan ancaman perang proxy yang terus membayangi cadangan tambang nasional.
Harapannya, Indonesia dapat memiliki perangkat birokrasi yang lebih peka terhadap perlindungan sumberdaya alam serta menekankan pemanfaatannya secara berkelanjutan utamanya untuk kepentingan nasional.
Birokrasi yang kuat kemudian dapat mandiri dari tarik-menarik siapa pemilik tambang, penguasa lahan, maupun sumber dana yang digunakan dalam investasi.
Pada tataran praktis, mereka fokus memastikan bahwa setiap operasi pertambangan memenuhi kewajiban finansial, lingkungan hidup dan sosial mereka, terlepas siapapun operatornya.