Sulawesi Tengah dan Maluku Utara juga tidak lepas dari incaran para penambang.
Pada tahun 2021, izin pertambangan di Indonesia telah mencapai lebih dari 5000-an walaupun Presiden Joko Widodo mengumumkan pencabutan sekitar 2000-an izin pada awal tahun ini -dengan konsesi nikel mendominasi sektor mineral.
Tingginya permintaan lalu dihadapkan pada realitas keterbatasan lahan. Perusahaan asing dan domestik saling berebut konsesi, tidak ketinggalan juga para pengusaha daerah.
Kadang di antara mereka ada juga yang ‘waras’ dengan saling berkolaborasi, namun tidak jarang terpaksa saling sikut, bergesekan, demi sejengkal dua jengkal lahan.
Sebagai bentuk kompromi, satu konsesi tambang sering dibagi menjadi beberapa blok kecil, untuk mengakomodasi 3-4 kontraktor.
Menguatnya dorongan kapital sebagai bagian dari peningkatan permintaan mineral pada gilirannya menaikkan posisi tawar korporasi yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan.
Ditambah kemampuan dalam mengakumulasi sumberdaya dan keterampilan yang dibutuhkan, perusahaan kemudian mendominasi atau terlalu kasar jika dikatakan mengkooptasi pemerintah yang lemah dan tidak kompeten dalam menghadapi bola liar arus modal.
Interaksi seperti ini menciptakan asimetri kekuasaan yang dikendalikan oleh pragmatisme korporasi.
Pemerintah yang lemah umumnya dicirikan oleh kurangnya akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan akibat keterbatasan kompetensi dan pengetahuan aparat terkait manajemen sumberdaya mineral.
Rendahnya integritas dan pemahaman birokrasi akan nilai strategis kekayaan alam bagi negara turut berkontribusi dalam memperparah situasi.
Ekosistem seperti ini telah memungkinkan tumbuh suburnya perilaku rent-seeking, maladministrasi, korupsi, konflik sosial, dan perusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan di Indonesia yang terjadi seolah tanpa berkesudahan.
Ancaman carut-marut kegiatan pertambangan telah muncul dengan jelas di depan mata.
Pengumunan pencabutan ribuan IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang dilakukan presiden sendiri bulan lalu juga mencerminkan kegagalan birokrasi pertambangan hari ini.
Hal itu sekaligus menunjukkan upaya putus asa dari sang pemimpin tertinggi untuk menegakkan kembali wibawa pemerintah yang hancur lebur akibat asimetri kekuasaan di sektor pertambangan ini.
Menghadapi situasi ini, penguatan kapasitas birokrasi dan peningkatan peran pemerintah menjadi mutlak diperlukan.