Dikutip dari BBC, negara itu kini tengah bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk program pinjaman baru agar negara itu bisa keluar dari krisis.
Pemerintah Sri Lanka mengeklaim, sejak merdeka dari Inggris tahun 1948, negara itu tak pernah sekali pun gagal membayar utang. Namun, sederet krisis beberapa tahun terakhir membuat pemerintah akhirnya menyatakan tak sanggup lagi membayar utangnya.
Sri Lanka tengah menghadapi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Cadangan devisanya turun menjadi sekitar 1,6 miliar dollar AS atau hanya sekitar Rp 22,8 triliun per akhir November. Jumlah cadev ini hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu.
Baca juga: Lapindo Tak Kunjung Bayar Utang, Pemerintah Siap Sita Asetnya
Sri Lanka seharusnya membayar cicilan sebesar 78 juta dollar AS utang luar negeri yang jatuh tempo pada pekan depan. Di sisi lain, Sri Lanka memiliki kewajiban sekitar 4 miliar dollar AS dalam pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo tahun ini.
Lantaran harus mencicil utang luar negeri, pemerintah Sri Lanka terpaksa harus membatasi impor komoditas penting, termasuk pangan. Hal ini justru memicu kelangkaan dan membuat harga pangan dan energi melonjak drastis.
Biaya hidup otomatis meningkat karena lonjakan harga-harga barang. Sementara krisis energi berimbas pada mandeknya beberapa pembangkit listrik dan transportasi publik berhenti karena kekurangan BBM.
Saat ekonomi masih belum bisa bangkit akibat dihajar efek pandemi Covid-19, Sri Lanka semakin babak belur dengan meroketnya harga minyak dunia pasca-serangan militer Rusia ke Ukraina.
Baca juga: Pembayaran Bunga Utang Pemerintah di 2022 Diprediksi Meningkat
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga beberapa kali, Sri Lanka harus merasakan kehancuran ekonomi yang lebih parah lagi akibat nilai mata uangnya yang semakin merosot.
Selain itu, utang ke China pun menumpuk hingga melampaui 5 miliar dollar AS untuk mendanai berbagai pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Negara itu telah menerima miliaran dollar pinjaman lunak dari China, tetapi negara kepulauan itu telah dilanda krisis valuta asing yang menurut beberapa analis telah mendorongnya ke ambang default atau gagal bayar.
Sri Lanka adalah bagian penting dari Belt and Road Initiative yang diinisiasi China, sebuah rencana jangka panjang untuk mendanai dan membangun infrastruktur yang menghubungkan China dengan seluruh dunia.
Namun, beberapa negara, termasuk AS, telah menyebut proyek itu sebagai "jebakan utang" untuk negara-negara yang lebih kecil dan lebih miskin. Akan tetapi, Beijing selalu menolak tuduhan itu mengingat Barat juga memberikan utang cukup besar ke Sri Lanka.
Baca juga: Membandingkan Utang Pemerintah Era SBY dan Jokowi, Mana Paling Besar?
China adalah pemberi pinjaman terbesar keempat Sri Lanka setelah pasar keuangan global, Bank Pembangunan Asia, dan Jepang.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah meminta China untuk merestrukturisasi pembayaran utangnya sebagai bagian dari upaya untuk membantu negara Asia Selatan itu mengatasi situasi keuangannya yang memburuk.
Gotabaya Rajapaksa mengajukan permintaan tersebut dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi beberapa waktu lalu.