Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Paradok Pajak dan Demokrasi

Kompas.com - 04/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Intinya, rakyatnya tidak dibebani pajak, atau tidak terlalu direpotkan dengan pemotongan pajak negara karena tidak diberikan hak representasi.

Di negara-negara tertentu, justru terjadi kombinasi yang unik di mana institusi monarki tetap eksis, tapi institusi representasi juga diadakan, karena diterapkannya fungsi taxasi negara di bidang-bidang tertentu.

Tapi di negara demokrasi, terutama di Amerika, taxpayer atau rakyat adalah penopang nafas pemerintahan.

Pemerintah bisa di-shut down kalau wakil rakyatnya menjegal anggaran yang diajukan pemerintah di satu sisi dan pemerintahnya justru bertahan dengan ajuan anggarannya di sisi lain (deadlock).

Tapi secara prinsipil, demokrasi Amerika sebenarnya juga hanya indah di konsep, karena faktanya rakyat Amerika tak bisa berbuat banyak, kecuali menunggu pemilihan selanjutnya dan vote out atas wakil-wakil yang buruk.

Lumayanlah. Tapi nyatanya setelah pemilihan, wakil rakyat punya kepentingan dan logikanya sendiri.

Dan di Indonesia, dari sisi keuangan (fiskal), negara nampaknya senang bertingkah seperti negara kaya minyak, seolah-olah uang pajak rakyat adalah tambang minyak.

Suara acapkali dibungkam, tapi pajaknya dipunguti secara paksa. Itupun performa pajaknya (tax ratio) masih di bawah standar.

Dan dari segi politik, negara bahkan berpura-pura demokratis, memberi ruang untuk representasi, tapi wakil rakyatnya justru merepresentasikan pemerintah itu sendiri, bukan merepresentasikan rakyatnya. Aneh memang.

Karena itu penguasa dan pemerintah selalu alergi dikritiki, minimal berusaha untuk membuat kritik terdengar sebersahabat mungkin. Kalau sudah tak bersahabat, akan dicarikan cara agar ada pasal yang melibasnya.

Jadi terasa agak aneh karena seolah-olah pemerintahan terpilih (presidency dan legislative) hanya ingin melalui proses demokrasi untuk menapaki kekuasaan saja, selepas itu walahualam.

Selepas itu, justru para elite pemerintahan bak raja Arab, yang menambang uang dari keringat rakyatnya.

Selain tentunya tambang minyak yang asli mereka tambang juga, pakai perusahaan negara atau pakai konsesi-konsesi ke pihak ketiga, berbarengan dengan menambang keringat rakyat.

Dan kalau besok-besok kencing rakyat bisa menghasilkan uang, boleh jadi akan dipajak juga. Kenapa?

Karena ada komplek bangunan segede gaban di Senayan sana, yang diaku sebagai bukti keberhasilan negara menunaikan kewajiban dalam memberikan ruang perwakilan bagi rakyatnya, tak peduli kelakuannya seperti apa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com