Kedua, influence, yakni kapasitas perusahaan dalam memengaruhi proses pembuatan kebijakan tanpa harus membayar suap. Sebab pemilik perusahaan adalah tokoh politik atau “interaksi” yang cukup dekat dengan pejabat.
Ketiga, korupsi administratif berupa sogokan kepada pejabat atau penegak hukum agar tidak melaksanakan aturan sebagaimana mestinya.
Untuk mengukur state capture dilihat dari sisi “dampak”dan “perilaku”.
Ada enam komponen yang membentuk indeks tinggi rendahnya state capture: (1) jual beli keputusan di parlemen untuk kepentingan perusahaan, (2) jual beli keputusan presiden, (3) korupsi di Bank Sentral, (4) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus kriminal, (5) jual beli keputusan pengadilan dalam kasus perdagangan, serta (6) sumbangan untuk partai dan kampanye politik.
Invetasi pengusaha sudah sering menyasar pada pembiayaan partai politik untuk memantapkan usaha dan perizinan.
Thomas Ferguson dalam Investment Theory of Party Competition (1995) menyatakan bahwa dalam sistem politik yang digerakkan oleh uang (money-driven political system), kebijakan politik tak lebih merupakan perpanjangan kepentingan elite bisnis dan investor.
Dalam hubungan dyadic dengan DPR, birokrat memerankan diri sebagai klien untuk mendapat persetujuan atas suatu kebijakan atau alokasi anggaran untuk berbagai proyek pembangunan.
Partai adalah produsen utama pejabat publik, mulai dari presiden hingga bupati.
Secara ketatanegaraan, kewenangan DPR dalam menentukan pejabat dan kebijakan publik juga semakin besar sehingga terjadi legislative heavy.
Sehingga tidak jarang, pejabat publik di lembaga lain tidak bisa berdaya mengikuti budaya culas yang merugikan publik ini.
Kekacauan praktik pengusaha yang memanfaatkan sumber daya lain di luar kapasitas perannya dapat memungkinkan menurunkan persepsi publik.
Masyarakat akan mengira pengusaha yang sukses adalah hasil dari silang kepentingan dengan elite kekuasaan.
Masalah segelintir oknum dapat merusak marwah kaum pengusaha yang dari awal satu napas dengan konsep dasar kemajuan pembangunan negeri ini.
Sehingga persepsi bahwa siapa pun yang ingin mendapat akses sumber daya politik maupun ekonomi harus melayani sang patron.
Praktik busuk inilah yang terjadi di lembaga parlemen dan birokrasi pemerintahan kita. Terjadi lingkaran korupsi yang melibatkan anggota DPR dan birokrat sebagai patron dengan pengusaha sebagai klien.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.