Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

The Fed Agresif Naikkan Suku Bunga Acuan, Respons Pasar, dan Dampaknya bagi Indonesia

Kompas.com - 16/06/2022, 08:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kembali ke pertemuan FOMC, Gubernur Bank Sentral Kansas City, Esther George, menyuarakan ketidaksetujuan atas keputusan komite. Menurut dia, kenaikan yang diambil seharusnya cukup separuh dari yang sudah diputuskan.

Hingga baru-baru ini, The Fed memperlihatkan gelagat hanya akan menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin. Namun, para ekonom memperkirakan jika besaran itu yang diambil maka The Fed akan ketinggalan kurva pergerakan perekonomian yang dihajar inflasi.

Baca juga: The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan 75 Basis Poin, Tertinggi dalam 28 Tahun

Dengan kebijakan baru ini, The Fed memperkirakan cadangan dana Federal akan tumbuh hingga 3,4 persen pada akhir 2022, naik dari proyeksi 1,9 persen yang dilansir pada Maret 2022.

Lalu, ekonomi Amerika pun diproyeksi tumuh 1,7 persen pada 2022, melambat dari perkiraan sebelumnya di level 2,8 persen. Meski demikian, Powell menegaskan kebijakan The Fed tidak bermaksud menginduksi resesi.

Pengamat ekonomi dari Grant Thornton, Diane Swonk, meragukan kebijakan ekonomi akan sekuat yang diproyeksikan The Fed. 

Menurut Swonk lewat cuitan di Twitter, kebijakan yang diambil The Fed bak memutar balik waktu ke era di awal 1980-an. Saat itu, Gubernur The Fed Paul Volcker menaikkan suku bunga acuan hingga 20 persen untuk menghentikan inflasi dan menyeret Amerika ke dalam resesi.

"Bersiaplah apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini adalah Fed Volcker-Esque. Ini berarti The Fed bersedia mengambil (risiko) kenaikan angka pengangguran dan resesi, untuk mencegah terulangnya kesalahan pada 1970-an. Masa itu jelek dengan bekas luka yang dalam," kata Swonk seperti dikutip AFP.

Para Gubernur Bank Sentral AS mulai menaikkan suku bunga dari nol persen pada Maret 2022 karena permintaan kuat konsumen untuk rumah, mobil, dan barang-barang lain yang terganggu rantai pasokannya selama pandemi Covid-19. 

Situasi di Amerika Serikat makin memburuk seturut invasi Rusia ke Ukraina. Sanksi keras negara-negara Barat ke Rusia telah berbalik memicu kenaikan harga makanan dan bahan bakar ke level yang sangat tinggi.

Bensin, misalnya, kini dibanderol di atas 5 dollar AS per galon untuk kali pertama dalam sejrah dan terus mencatatkan rekor harga baru per hari. Satuan galon yang dipakai di sini setara dengan sekitar 3,7 liter.

Artinya per liter bensin di Amerika Serikat sudah berharga lebih dari 1 dollar AS, untuk kurs di level Rp 14.746 berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) 15 Juni 2022. 

Para ekonom sempat memperkirakan bahwa Maret 2022 akan menjadi puncak lonjakan harga konsumen. Namun, data pada Mei 2022 malah memperlihatkan lonjakan lagi, dengan kenaikan sampai 8,6 persen dalam 12 bulan terakhir.

Bila biasanya pengambil kebijakan melemparkan sinyal peringatan ke pasar tentang proyeksi pergerakan perekonomian, kali ini justru The Fed yang tampaknya ketinggalan kurva pergerakan.

Dampak bagi Indonesia

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Hari Wibowo menyebut efek kebijakan The Fed akan memberikan dampak sangat berat bagi Indonesia.

"Harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika. Outflow ini juga susah ditebak. Rentetan (dampak kebijakan The Fed ini) akan panjang," kata Dradjad lewat perbincangan telepon, Kamis (16/6/2022) pagi. 

Rentetan panjang berikutnya sebagai imbas kebijakan The Fed, kata Dradjad, akan dimulai dengan pilihan "mau tidak mau" bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk menambah discount rate surat utang negara (SUN).

Baca juga: Reshuffle Kabinet 15 Juni 2022: Saturasi Demokrasi Indonesia Makin Turun

"Mau tidak mau juga, penerbitan (surat) utang harus dikurangi karena akan terlalu mahal (bunga yang harus dibayarkan negara). Harus kreatif cari sumber-sumber pendapatan baru. Ini dari sisi APBN," sebut Dradjad.

Dari stabilitas moneter dan sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kudu bergegas mengambil langkah proaktif sebelum aliran uang ke luar negeri (outlow) menderas.

"Langkah-langkah pengetatan transaksi harus disiapkan, biar uang yang kabur tidak terlalu banyak," ujar Dradjad memberikan contoh. 

Konsekuensi berikutnya, BI juga mau tidak mau harus ikut pula menaikkan suku bunga acuan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com