Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sabilla Ramadhiani Firdaus
Analis Kebijakan

Analis Kebijakan pada Lembaga Administrasi Negara

Pembatasan Ekspor Nikel: Kebijakan Nasional Vs Unfairness Treatment Hukum Investasi Internasional

Kompas.com - 25/07/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa penjualan mineral mentah ke luar negeri dapat dilakukan dalam jumlah tertentu dan dalam bentuk pengolahan dalam waktu tiga tahun sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014.

Beberapa larangan dasar didasarkan pada banyak faktor. Salah satunya dengan hasil analisis dampak kebijakan pemerintah.

Dalam laporan “Analisis Kebijakan Larangan Ekspor Bahan Baku Pertambangan dan Mineral” yang diterbitkan Kementerian Perdagangan disebutkan, sumber daya nikel Indonesia pada 2011 sebesar 2.633 juta ton bijih dengan potensi cadangan mencapai 577 juta ton bijih.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2013 merupakan puncak tertinggi ekspor nikel Indonesia yang mencapai 64.802.857 ton atau 1.685.247 dollar AS.

Mengacu pada data tersebut, ada enam negara utama yang menjadi tujuan ekspor nikel Indonesia, yakni Jepang, China, Australia, Swiss, Yunani, dan Ukraina.

Untuk menunjukkan kedaulatan rakyat Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, Pemerintah Indonesia sekali lagi dengan tegas melarang ekspor melalui penerbitan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Prinsip kebijakan nasional

Sejak berlakunya UU Minerba, hingga 11 Januari 2014 ternyata perusahaan tambang belum sepenuhnya siap, smelter belum dibangun.

Kondisi tersebut membuat pemerintah mau tidak mau harus menyiasati dan mencari jalan keluar. Salah satunya dengan merevisi sejumlah peraturan turunan dari UU Minerba.

Selain Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Bahan Baku Mineral dan Pertambangan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, ada dua faktor yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Indonesia di sektor minerba, yaitu Faktor Internal dan Faktor Eksternal.

Faktor internal antara lain hilirisasi pertambangan, peningkatan pembangunan nasional, peningkatan investasi, pembukaan lapangan kerja.

Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi kebijakan ini adalah negara-negara yang menggunakan bahan baku mineral di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang umumnya keberatan dengan kebijakan minerba karena dianggap menyulitkan dan menaikkan biaya produksi perusahaan.

Unfairness Treatment dalam Hukum Investasi Internasional

Uni Eropa percaya bahwa berbagai tindakan yang dipermasalahkan tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia berdasarkan perjanjian yang tercakup, khususnya:

1. Pasal XI:1 GATT 1994, karena dengan melarang ekspor bijih nikel, dengan mewajibkan bijih nikel, bijih besi dan kromium serta batubara dan produk batubara menjalani kegiatan pengolahan tertentu sebelum diekspor, dengan mewajibkan jumlah tertentu nikel dan batubara yang dijual di dalam negeri sebelum diekspor dan dengan memberlakukan persyaratan perizinan ekspor tertentu pada bijih nikel, limbah dan skrap logam serta batubara dan kokas, Indonesia memberlakukan tindakan yang membatasi ekspor bahan mentah yang relevan untuk produksi baja tahan karat;

2. Pasal 3.1 b) ASCM, karena skema pembebasan bea masuk khusus yang diperkenalkan oleh Indonesia dalam rangka mendorong pengembangan industri dan investasi dan/atau peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tertentu negara ("Kawasan Pengembangan Industri " atau "WPI"), memberikan periode pembebasan bea tambahan (diperpanjang) yang bergantung pada penggunaan mesin, instalasi, peralatan atau perkakas yang diproduksi secara lokal; di mana dukungan tambahan tersebut merupakan pemberian subsidi dalam arti Pasal 1.1 ASCM dan membuat subsidi itu bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas barang-barang impor, melanggar Pasal 3.1 b) ASCM; dan Pasal X:1 GATT 1994, karena Indonesia tidak segera mengumumkan semua tindakan penerapan umum yang berkaitan dengan pelaksanaan pembatasan ekspor dan penerbitan izin ekspor, sehingga memungkinkan pemerintah dan pedagang menjadi berkenalan dengan mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com