Pada periode itulah peran Bulog harus dimainkan, yaitu menyerap pasokan gabah yang melimpah tetapi harganya anjlok dengan harga pokok pembelian pemerintah (HPP), sehingga Bulog bisa maksimal menyerap gabah petani untuk memenuhi stok beras di gudang.
Saat panen raya, pasokan gabah melimpah, harga anjlok. Saat itulah kehadiran Bulog sangat ditunggu dan diperlukan agar harga gabah tidak dipermainkan tengkulak dan risiko anjloknya harga jual gabah petani dapat dimitigasi.
Jika gabah saat panen raya dikuasai oleh pemilik modal yang memiliki RMU modern, maka harga berasnya langsung melambung. Pasalnya, mereka akan menjual beras setelah panen raya saat pasokan menipis.
Biasanya Bulog seringkali kesulitan menyerap dengan harga dari konglomerasi, karena Bulog dibatasi dengan HPP, apalagi rastra sudah lepas dari genggaman Bulog.
Bisa saja Bulog membeli dengan uang pinjaman komersial, tetapi biasanya jumlahnya tidak bisa banyak.
Repotnya lagi, sebagian besar pengadaan beras Bulog lebih banyak dilakukan melalui pihak ketiga, sehingga harganya sudah naik karena harus ditambah keuntungan pihak ketiga dan pajak.
Bulog yang sudah lama berdiri dan sejak lama memiliki privilege raskin sejak orde baru, kok kondisi infrastruktur RMU kalah dibandingkan pengusaha swasta yang semua modal, infrastrukturnya dibiayai dengan modal komersial.
Ironinya lagi, penguasaha swasta tersebut sebagian besar mitra Bulog. Pendapat ini penulis dapatkan ketika menjadi Penangung Jawab serap gabah petani Kerjasama Kementerian Pertanian, TNI Angkatan Darat, dan Bulog.
Swasta umumnya efisien dan produktif dalam bekerja maupun jumlah sumber daya manusia yang bekerja, sehingga daya saingnya tinggi.
Bulog perlu melakukan transformasi bisnis maupun sumber daya manusianya, sehingga biaya produksinya menjadi lebih kompetitif.
Jika Bulog mampu membeli gabah langsung dari petani dan memiliki Rice Mill Unit yang modern, maka gabah yang dibeli dari petani akan lebih baik, dapat dikeringkan, diproses dan dipasarkan langsung oleh Bulog baik melalui skema bantuan rastra, bantuan pangan non tunai, maupun skema komersial.
Kementerian Pertanian juga sayangnya sedari awal kurang aware dan terlalu over confident bahwa produksi cukup di lapangan, sehingga sinergi dengan Bulog untuk menyerap gabah petani saat panen raya seperti dilakukan kurang optimal.
Padahal periode 2016-2018, Kementerian Pertanian dan Bulog mampu mencetak rekor besar dalam dalam menyerap gabah petani.
Dirjen Tanaman Pangan mungkin lupa bahwa di lapangan Bulog seringkali kalah bersaing melawan swasta yang berani membeli dengan harga di atas HPP.
Swasta memproses sendiri dan menghasilkan beras premium, dengan by product berupa bekatul, dedak, sekam dan menir, semua itu ada nilai ekonominya, sehingga swasta bisa membeli gabah dengan harga di atas HPP.
Komando Strategi Penggilingan Padi (Kostraling) yang ada tidak dioperasionalkan dengan maksimum, sehingga tidak mampu menjembatani (bridging) petani dan Bulog.
Mestinya dengan memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kostraling dapat memainkan fungsi intermediasi petani dengan Bulog, sehingga ketika panen raya gabah tidak dikuasai oleh konglomerasi.
Hal yang lebih mendistorsi antara impor atau serap gabah dalam negeri selain yang telah diuraikan, Bulog sebagai badan usaha milik negara wajib mendatangkan keuntungan.
Sementara harga gabah sudah naik karena bukan periode panen raya. Kemudian kekhawatiran terjadinya shortage cadangan beras Bulog, kekhawatiran terjadinya inflasi yang tinggi, pengamanan Natal dan Tahun Baru dan satu lagi yang paling fundamental adalah, harga beras Impor jauh lebih murah dibandingkan harga beras dalam negeri.
Impor beras jelas lebih menarik dan menguntungkan bagi Bulog dari berbagai sisi, meskipun sangat berbahaya dalam jangka menengah.
Pasalnya, Indonesia kehilangan devisa, mendistorsi harga beras produksi dalam negeri, dan bisa mengguncang swasembada beras nasional, kalau setiap saat Pemerintah mengambil jalan pintas impor beras, kurang mengoptimalkan penyerapan produksi beras dalam negeri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya