Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Nikel, WTO, dan "Groundbreaking" Smelter

Kompas.com - 10/12/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berkaca pada hal itu, saya kira, pemerintah tak perlu tunduk pada aturan main WTO yang merugikan kepentingan ekonomi nasional kita. Kebijakan hilirisasi atau perintah bagi perusahaan tambang untuk membangun pabrik smelter tetap berjalan karena itu adalah amanat konstitusi. Perlawannya tak perlu dilakukan secara terbuka. Cukup lakukan counter kebijakan saja.

Baca juga: Vale Bangun Industri Nikel dengan Dana Rp 131 Triliun

Hal itu sudah dilakukan Vale Indonesia. Meskipun WTO mengabulkan gugatan negara-negara Eropa agar Indonesia tak melarang ekspor, Vale tetap konsisten dengan kebijakan hilirisasi tambang yang diterapakan sejak beroperasi di Indonesia.

Groundbreaking pembangunan proyek HPAL di Pomala adalah pukulan balik bagi keputusan WTO bahwa produsen-produsen nikel Indonesia ingin membantu pemerintah untuk konsisten menerapkan kebijakan hilirisasi. Keputusan WTO tak serta-merta membuat Indonesia harus membuka keran ekspor nikel, karena sudah banyak produsen-produsen nikel besar yang sudah membangun pabrik smelter sejak kebijakan hilirisasi diterapkan.

Vale bukan hanya membangun pabrik HPAL di Pomala saja. Perusahaan itu  juga akan membangun pabrik smelter nickle pig iron (NPI) di Morowali, Sulawesi Tengah berkapasitas 74.000 matrik ton dengan nilai investasi sebesar 2,1 miliar dolar. Selain itu, Vale akan mengembangkan proyek HPAL juga di Sorowako dengan nilai investasi sebesar 2 miliar dolar dan kapasitas produksi sebesar 80.000 metrik ton.

Sejak beroperasi di Tanah Air tahun 1973, Vale memang telah membangun pabrik smelter nickle matte berkapasitas di atas 62.000 matrik ton. Ini komitmen perusahaan untuk membangun sistem pertambangan yang baik, tidak ekstratif dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup.

Sebetulnya bukan hanya Vale yang sudah membangun pabrik smelter. Perusahana tambang milik negara, PT Aneka Tambang Tbk juga telah membangun pabrik smelter feronikel berkapasitas 27.000 matrik ton di Pomala, Sulawesi Tengah.

Dalam waktu tak lama lagi, ANTM akan mengoperasikan pabrik smelter feronikel di Halmahera Timur berkapasitas 13.000 matrik ton.

Selain ANTM, ada Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang telah membangun pabrik smelter feronikel berkapasitas di atas 1 juta ton per tahun.

Masih banyak lagi perusahaan tambang nikel yang sudah membangun pabrik smelter di Tanah Air. Per tahun 2022, sudah ada 24 pabrik smelter nikel beroperasi di tanah air. Mayoritas tersebar mulai dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara sampai Halmahera, Muluku.

Hal ini mau menunjukan bahwa sudah banyak perusahaan yang berkomitmen membangun proyek hilirisasi nikel. Jadi, tak perlu takut dengan keputusan WTO yang menerima gugatan negara-negara Eropa terkait pelarangan ekspor nikel di tanah. Keputusan WTO tak perlu dilawan secara frontal oleh pemerintah Indonesia. Cukup meminta komitmen produsen-produsen nikel membangun pabrik nikel di Tanah Air agar membangun industri hilir tambang guna memberi nilai tambah bagi pembangunan.

Pembangunan tambang di negeri ini harus lebih maju, meninggalkan paradigma tambang ekstraktif (menjual hasil tambang dalam bentuk mentah) menuju hilirisasi agar bangsa ini menjadi bangsa maju secara industrial.

Semoga masih ada perusahaan tambang nikel seperti Vale atau Antam yang akan membangun pabrik smelter nikel di Tanah Air, meskipun sudah ada keputusan WTO terkait pelarangan ekspor biji nikel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com