Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Nilai Revisi PP soal Rokok Bisa Pengaruhi Penerimaan Negara

Kompas.com - 15/02/2023, 08:00 WIB
Elsa Catriana,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menilai rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, bisa mencederai industri tembakau hingga mempengaruhi penerimaan negara.

Dia menyebut apabila peraturan tersebut resmi diubah, maka akan memberikan dampak yang negatif pada pekerja sektor tembakau yang saat ini ada 6,1 juta pekerja di sepanjang rantai pasok sektor tembakau.

“Pekerja di sepanjang rantai pasok yang kurang lebih saat ini ada 6,1 juta pekerja. Dengan cara intervensi peraturan yang menekan industri rokok (lewat revisi PP 109/2012), industri akan semakin menderita, itu akan mempengaruhi penerimaan negara,” ujar Henry dalam diskusi Forum Wartawan Industri di Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Baca juga: Tolak Revisi PP soal Rokok, Pengusaha: Aturannya Masih Mumpuni

Menurut Henry, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.

Henry menilai usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia.

“Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan," katanya.

“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi," sambung Henry.

Baca juga: BPS: Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai ke Inflasi Rokok Bertahan Lama


Hal ini juga diamini oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi. Dia mengatakan, saat ini industri rokok dalam kondisi yang mengenaskan.

Menurut Benny, jumlah produksi rokok telah berkurang signifikan dari tahun ke tahun, terutama pada masa pandemi. Padahal, rokok berkontribusi besar pada penerimaan negara, utamanya lewat cukai hasil tembakau atau cukai rokok.

“Saat ini situasi industri hasil tembakau sedang tidak baik-baik saja, kita melihat situasi ini sangat mencekam. Kalau kita lihat rokok putih misalnya, tahun 2019 kita masih produksi 15,2 miliar. Tahun 2020 kemarin kita cuma (produksi) 10, 5 miliar. Kalau menurut rumus ekonomi 3 sampai 4 tahun lagi tinggal setengahnya,” kata Benny.

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan: Industri Rokok, Pakaian, dan Tekstil Dominasi Klaim JKP 2022

Oleh sebab itu, Benny bilang, pihaknya menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi komprehensif dengan indikator yang akurat baik di tingkat nasional maupun daerah, sebelum memutuskan untuk melakukan revisi PP 109/2012.

“Indikator dan justifikasi revisi regulasi yang saat ini didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang,” ungkap Benny.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai industri hasil tembakau memiliki kontribusi besar bukan hanya terhadap penerimaan negara tetapi juga lapangan kerja dan perputaran ekonomi masyarakat.

Baca juga: Inflasi Sepanjang 2022 5,51 Persen, Disumbang Sektor Transportasi hingga Makanan dan Rokok

Dia menyebut, pada 2023, penerimaan cukai IHT diperkirakan akan mencapai Rp 228 triliun. Angka tersebut naik sekitar Rp 19,96 triliun atau sekitar 95 persen dibandingkan tahun lalu.

Oleh sebab itu, lanjut Tauhid, perlu adanya rumusan formula baku dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok illegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data update tiap tahunnya.

"Dilihat kembali efektifitas PP 109/2012 terhadap prevalensi merokok anak dan pengaruh pencantuman gambar dan tulisan sebesar 40 persen," kata Tauhid.

Baca juga: Ingat! Cukai Sudah Resmi Naik, Ini Daftar Harga Rokok Eceran 2023

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com