JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menilai rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, bisa mencederai industri tembakau hingga mempengaruhi penerimaan negara.
Dia menyebut apabila peraturan tersebut resmi diubah, maka akan memberikan dampak yang negatif pada pekerja sektor tembakau yang saat ini ada 6,1 juta pekerja di sepanjang rantai pasok sektor tembakau.
“Pekerja di sepanjang rantai pasok yang kurang lebih saat ini ada 6,1 juta pekerja. Dengan cara intervensi peraturan yang menekan industri rokok (lewat revisi PP 109/2012), industri akan semakin menderita, itu akan mempengaruhi penerimaan negara,” ujar Henry dalam diskusi Forum Wartawan Industri di Jakarta, Selasa (14/2/2023).
Baca juga: Tolak Revisi PP soal Rokok, Pengusaha: Aturannya Masih Mumpuni
Menurut Henry, PP 109/2012 yang berlaku saat ini masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.
Henry menilai usulan revisi PP 109/2012 lebih mengarah kepada pelarangan, bukan pengendalian. Hal ini dapat membuat kelangsungan iklim usaha IHT, sebuah usaha yang legal, menjadi semakin restriktif di Indonesia.
“Padahal, kalau mengacu kepada ketentuan perundangan-undangan, seharusnya ditekankan pada pengendalian, bukan pada pelarangan," katanya.
“Pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi," sambung Henry.
Baca juga: BPS: Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai ke Inflasi Rokok Bertahan Lama
Hal ini juga diamini oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi. Dia mengatakan, saat ini industri rokok dalam kondisi yang mengenaskan.
Menurut Benny, jumlah produksi rokok telah berkurang signifikan dari tahun ke tahun, terutama pada masa pandemi. Padahal, rokok berkontribusi besar pada penerimaan negara, utamanya lewat cukai hasil tembakau atau cukai rokok.
“Saat ini situasi industri hasil tembakau sedang tidak baik-baik saja, kita melihat situasi ini sangat mencekam. Kalau kita lihat rokok putih misalnya, tahun 2019 kita masih produksi 15,2 miliar. Tahun 2020 kemarin kita cuma (produksi) 10, 5 miliar. Kalau menurut rumus ekonomi 3 sampai 4 tahun lagi tinggal setengahnya,” kata Benny.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan: Industri Rokok, Pakaian, dan Tekstil Dominasi Klaim JKP 2022
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.