Windfall ekspor komoditas yang mulai terkoreksi di awal 2023 adalah indikasi bahwa dampak dari perlambatan ekonomi global mulai terasa. Padahal, sejak 2021-2022, windfall ekspor komoditas menjadi pahlawan dalam menopang penerimaan negara.
Kedua, dari sisi makro ekonomi pun memberikan indikasi pelemahan. Pada kurs misalnya, depresiasi rupiah terus membayangi. Sepanjang Februari 2023, depresiasi rupiah bergerak di rata-rata Rp 15.125,90/dolar.
Beratnya rupiah kembali di bawah Rp 15.000/ dolar menggambarkan lemahnya fundamental mata uang rupiah. Kendati BI telah menggelontorkan Rp 494,520 miliar untuk operasi pasar terbuka (OPT) dalam menstabilkan nilai tukar, namun belum mengerek rupiah sejalan dengan nilai tukar fundamental.
Dalam asumsi makro APBN 2023, kurs rupiah ditetapkan Rp 14.800/dolar. Dengan posisi kurs saat ini, meskipun masih awal tahun, namun menggambarkan kurs berada dalam tekanan kondisi domestik dan global.
Inflasi yang masih di atas sasaran 3 persen ±1 persen (inflasi saat ini 5,28 persen yoy), koreksi terhadap kinerja ekspor di awal tahun serta kemungkinan defisit transaksi berjalan serta suku bunga global kembali ketat dalam mencapai sasaran inflasi negara-negara maju,, adalah sentimen negatif yang akan turut menggerus nilai tukar rupiah.
Inflasi AS yang naik 0,5 persen (mtm) dan secara tahunan di posisi 6,4 persen (yoy) atau di atas konsensus yang memperkirakan inflasi AS turun di posisi 6,2 persen (yoy). Di saat yang sama, total nonfarm payroll employment di posisi 517,000 pada Januari 2023, pengangguran yang masih rendah; 3,4 persen, memungkinkan gestur The Fed kembali hawkish dan kemungkinan akan mengerek suku bunga.
Di saat yang sama, indeks harga produsen AS pun naik 6,0 persen (yoy). Data ekonomi AS ini menambah ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga The Fed. Hal ini berdampak pada psikologi pasar yang menyebabkan mata uang greenback kian terapresiasi.
Tentu apresiasi dollar akan semakin menekan mata uang di negara berkembang seperti Indonesia.
Di saat yang sama, di sektor pasar modal, indeks komposit masih terjebak dalam pasar yang volatile. IHSG masih berjuang untuk menyentuh level 7000. Gagal bayar emiten BUMN Waskita Karya, turut memperburuk persepsi terhadap surat utang korporasi.
Awal tahun yang merupakan starting point untuk ekspansi bagi korporasi, justru terhambat oleh katalis negatif gagal bayar utang yang memperburuk bargaining surat utang korporasi di pasar modal.
Pemerintah memiliki preseden dalam memitigasi risiko global sepanjang tahun 2020-2022. Soft landing mengakhiri masa turbulensi krisis kesehatan (pandemi Covid-19) dan krisis ekonomi, adalah preseden baik dimaksud. Setidaknya, Indonesia mampu keluar dari labirin gelap pandemi Covid-19, membawa ekonomi berhasil tumbuh melampaui pra Covid-19.
Di tengah tekanan terhadap pasar ekspor dengan negara mitra dagang, beberapa negara dan kawasan Eropa, tercatat memiliki permintaan terhadap produk Indonesia yang ciamik. Ekspor Indonesia ke Swiss tercatat sebesar 144,3 juta dolar, Italia 69,6 juta dolar, Norwegia 68,1 juta dolar, dan Jerman 57,3 juta dolar.
Data-data itu membuka ruang bagi pemerintah untuk mendiversifikasi pangsa pasar ekspor. Produk-produk industri kerajinan tangan, lemak nabati serta produk industri kreatif Indonesia bisa masuk ke kawasan benua biru, bila hubungan diplomatik perdagangan dibuka. Selama ini, pangsa pasar ekspor non-migas Indonesia 60 persen tersegmentasi di Asia.
Dengan kondisi saat ini, pemerintah memiliki ruang untuk mendiversifikasi pangsa pasar ekspor ke luar Asia sehingga bisa berkelit dari dampak global demand shortage.
Akselerasi terhadap program hilirisasi perlu dilakukan dan tak sebatas slogan. Terutama memangkas berbagai hambatan investasi yang mengganggu percepatan program hilirisasi. Hal ini sekaligus mendiversifikasi produk ekspor dari komoditas mentah dan manufaktur ke ekspor barang jadi dengan nilai tambah ekonomi yang lebih baik.