… Jika mengikuti hitungan Kadin, di mana kebutuhan stimulusnya mencapai Rp 1.600 triliun, kata Dradjad, jelas 'sumur uangnya' tidak cukup.
"Jadi pertanyaan mendasarnya: Uangnya Dari Mana? BI tidak punya jawaban yang memadai. Kemenkeu juga tidak. Itu sebabnya muncul gagasan mencetak uang,” papar Dradjad.
Jika tidak mau mencetak uang, menurut Dradjad, maka harus mencari sumber selain di atas…
Pandangan saya itu didasari oleh pemikiran bahwa (1) "sumur uang" kita tidak cukup untuk mengatasi pandemi dan dampaknya, (2) karena aktivitas ekonomi dan permintaan agregat bakal anjlok, jangan-jangan selama pandemi Indonesia berada dalam kondisi New-Keynesian?
Pemikiran kedua ini tidak saya utarakan saat itu karena masih spekulatif. Spekulasi tersebut sekarang menjadi hipotesis berbasis empiris.
Karena, meski Indonesia memonetisasi defisit dalam jumlah besar, ternyata ledakan inflasi tidak terjadi bahkan ketika pertumbuhan mulai pulih. Inflasi hanya sebesar 1,68 persen (2020), 1,87 persen (2021) dan 5,51 persen (2022).
Baca juga: Burden Sharing Diyakini Tak Akan Sebabkan Hiperinflasi
Apakah ini berarti terdapat kelengketan harga dan upah (price-wage stickiness) selama 2020-2022, atau hanya karena pergeseran kurva permintaan agregat? Saya belum tahu jawabannya karena belum melakukan riset ekonometri.
Kelengketan harga dan upah adalah fondasi dari New-Keynesianism berdasarkan asumsi kegagalan pasar seperti kompetisi tidak sempurna.
Jika memang ada kelengketan pada tahun-tahun mendatang maka Indonesia bisa menggenjot belanja negara, baik melalui kenaikan defisit maupun monetisasi defisit, tanpa banyak khawatir terhadap inflasi. Sebaliknya, jika kelengketan tidak ada, kita harus ekstra waspada terhadap inflasi. Defisit APBN perlu dijaga ketat, sementara monetisasi defisit kembali tabu.
Dengan berakhirnya burden sharing, pertanyaannya, seberapa panjang napas APBN dalam mendorong pertumbuhan melalui program Keynesian? Jangan lupa, proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga perlu dana besar.
Mari kita lihat infografik berikut ini untuk menganalisanya.
Terlihat dari infografik di atas, rasio belanja negara terhadap PDB cenderung menurun selama 2000-2022.
Rata-rata dunia pada 2021 adalah 16,83 persen dan Indonesia berada di bawah rata-rata tersebut. Pada 2022 rasio, Indonesia malah turun menjadi 13,9 persen. Kenaikan pada 2020 lebih disebabkan oleh kontraksi PDB akibat pandemi. Turunnya kinerja Indonesia ini tampaknya terkait dengan rendahnya tax ratio.
Baca juga: Aturan Burden Sharing di UU PPSK Dinilai Bisa Timbulkan Masalah
Pada 2022, peranan pengeluaran pemerintah dalam pembentukan PDB juga anjlok menjadi 7,7 persen. Hal ini harus mendapat perhatian yang sangat serius karena level 6-7 persen itu hanya kita alami saat pemulihan krisis 1998-1999, yaitu pada 2000-2002. Setelah itu angkanya berkisar 8-9 persen.
Jadi, ketika APBN masih diinjeksi Bank Indonesia (BI) sekalipun, sudah terlihat gejala APBN mulai kekurangan napas dalam membentuk PDB. Karena itu, terobosan penerimaan mutlak harus dicari. Jelas tidak mudah, apalagi dengan memburuknya reputasi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
Baca juga: Sri Mulyani dan Buntut Panjang Kasus Mario Dandy Satrio
Salah satu terobosan tersebut adalah terkait teknologi informatika (TI). Seorang ahli TI Ditjen Pajak pernah mengajari saya, sistem TI bisa dibangun untuk mengurangi kebocoran pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain TI, ada beberapa jenis operasi khusus yang bisa dilakukan untuk menekan penghindaran dan dan penggelapan pajak atau cukai.
Baca juga: Tax Ratio Indonesia Ada di Bawah Rata-rata Negara Asia Pasifik
Kita juga perlu inovasi produk keuangan sebagai salah satu sumber pembiayaan IKN. Inovasi ini melibatkan berbagai bentuk swap (pertukaran). Perubahan regulasi yang dibutuhkan relatif minim.
Satu hal yang jelas, inovasi ini haruslah bukan monetisasi defisit dan tidak menambah utang negara.
Baca juga: Utang Pemerintah Naik Jadi Rp 7.754,98 Triliun per Januari 2023, Kemenkeu: Masih Batas Aman
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.