Kedua, sementara kebijakan moneter longgar melalui policy rate diharapkan memiliki efektivitas transmisi pada biaya kredit yang murah sehingga mendorong laju output. Dengan demikian, dapat digarisbawahi, suasana batin Presiden menginginkan BI dapat mengaktivasi peran tambahannya dalam ikut menjaga “pertumbuhan ekonomi” sebagaimana tereksplisit dalam UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan).
Transmisi kebijakan moneter bank sentral, selain OPT (operasi pasar terbuka), diharapkan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran transmisi kebijakan moneter. Di antaranya saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset , dan ekspektasi.
Dari sektor keuangan, transmisi kebijakan moneter diharapkan berpengaruh terhadap suku bunga, nilai tukar, dan harga saham di samping volume dana masyarakat yang disimpan di bank, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya.
Sedangkan di sektor riil, transmisi kebijakan moneter diharapkan memengaruhi perkembangan konsumsi, investasi, ekspor dan impor, hingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter.
Lantas, apakah ekspektasi transmisi kebijakan plus harapan Presiden itu terjawab dengan kebijakan moneter sepanjang pandemi Covid-19? Sepanjang tahun 2020-2021, kebijakan moneter dalam menjangkar inflasi terbilang efektif, karena inflasi selalu di bawah sasaran (forward guidance) yang ditetapkan dalam APBN.
Sesuai data BPS, inflasi kumulatif tahun 2020 adalah 1,68 persen, tahun 2021 sebesar 1,87 persen atau inflasi masih di bawah sasaran 3 persen ± 1 persen. Sementara inflasi Indek Harga Konsumen (IHK) tahun 2022 adalah 5,51 persen.
Disinflasi yang ditoreh sepanjang dua tahun (2020-2021), di satu sisi menggambarkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjangkar inflasi. Namun pada saat yang bersamaan, inflasi yang rendah juga merefleksikan daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih setelah melandainya kasus Covid-19.
Hal tersebut terlihat dari rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih kontraksi dan melambat dari pra Covid-19. Bahkan hingga Januari 2023, konsumsi rumah tangga masih berada di bawah level pra Covid-19.
Sementara inflasi di tahun 2022 yang berada di atas sasaran BI menggambarkan aktivitas ekonomi yang mulai menggeliat (pasca Covid-19), sehingga mendorong pertumbuhan permintaan.
Namun pada saat yang sama, output yang belum pulih dan rantai suplai yang terganggu akibat faktor eksternal global membuat inflasi di tahun 2022 bergerak melampaui sasaran otoritas. Terutama andil inflasi dari komponen bergejolak seperti makanan dan energi.
Transmisi kebijakan bank sentral, memang agak terbatas, bila inflasi dipicu oleh komponen bergejolak seperti pangan dan energi. Karena itu membutuhkan kolaborasi dari sisi moneter dan fiskal.
Secara ekstrenal, dari data US Bureau of Labor Statistics terbaru (14/Maret/2023), inflasi bulanan AS terkerek 0,4 persen dan inflasi tahunannya 6 persen atau lebih rendah dari sebelumnya 6,4 persen.
Inflasi tahunan yang turun serta bangkrutnya bank-bank kakap AS pada awal Maret 2023 akibat tekanan likuiditas mahal, memungkinkan The Fed akan melonggarkan sabuk moneternya. Hal tersebut membuka ruang bagi pergerakan bunga ke depan yang cenderung melandai.
Tentu saja hal ini sejalan dengan ekspektasi Presiden Jokowi.
Secara teori, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menavigasi nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Agar tujuan tersebut tercapai, BI menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.