KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Organisasi “Talent-Centric”

Kompas.com - 01/04/2023, 09:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA masa pandemi Covid-19 kemarin, tiba-tiba saja muncul istilah baru, yakni “the great resignation”. Istilah ini mengacu pada kondisi para generasi Y dan Z tanpa ragu hengkang dari perusahaan tempat mereka bekerja karena merasa tidak cocok lagi. Kondisi ini sempat membuat bingung banyak organisasi.

Ketika ancaman resesi membayang di depan mata, tenaga-tenaga kerja potensial justru melepaskan posisi mereka. Sementara itu, kita semua tahu bahwa kinerja terbaik membutuhkan tim terbaik. Artinya, persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik akan semakin sulit. Organisasi harus berjuang keras untuk mendapatkan talenta terbaik di pasaran dan mempertahankannya secara baik-baik.

Baca juga: FOMO

The new age workforce

Bila pada masa lalu kebesaran organisasi dan penawaran gaji menjadi daya tarik utama para talenta, pada masa sekarang, fleksibilitas dalam bekerja juga menjadi daya tarik utama para talenta.

Begitu banyak talenta terbaik mengundurkan diri dari perusahaan besar, seperti Twitter, ketika metode bekerja penuh waktu di kantor menjadi suatu keharusan. Mindset mereka sudah bergeser dengan mengutamakan work-life balance sebagai salah satu nilai penting dalam hidup mereka.

Dalam salah satu penelitian Gallup, hanya 12 persen tenaga kerja ingin kembali bekerja secara penuh waktu di kantor. Selebihnya memilih bekerja secara hibrida sehingga mereka dapat memiliki kebebasan waktu yang lebih besar untuk mengatur tanggung jawab antara di rumah dan kantor.

Tidak ada pilihan bagi organisasi selain benar-benar mempertimbangkan pengaturan kerja bagi para profesional ini. Penanganan talenta, pengembangan, dan sikap manajemen ke karyawan perlu lebih atraktif dan menjadikan nilai-nilai hidup karyawan sebagai fokus utama.

Transparansi juga menjadi salah satu hal yang penting bagi para karyawan masa kini. Kejelasan mengenai compensation and benefit, program pengembangan, sampai jalur karier menjadi hal prioritas bagi mereka.

Baca juga: Mentalitas Silo

Budaya organisasi yang masih kental atmosfer like and dislike dan kebiasaan karyawan yang berfokus pada melayani kebutuhan atasan karena ada berbagai kemudahan yang bisa didapat dengan dekat manajemen lambat laun ditinggalkan oleh para talenta terbaik mereka. Ingat bahwa people quit bosses, not companies.

Para talenta terbaik tersebut juga membutuhkan organisasi yang memiliki tujuan yang jelas dan bermanfaat bagi sesama. Mereka akan mempertimbangkan “nilai” organisasi dari bagaimana mereka diperlakukan, bahkan mulai dari proses rekrutmen. Semakin transparan, cepat, dan informatif pihak perekrut, maka semakin kuat pula daya tarik mereka untuk bergabung. Proses yang bertele-tele dan tidak jelas akan membuat kandidat merasa tidak dihargai.

Fokus ke talenta

Dalam beberapa dekade terakhir ini, kita memahami peran penting customer experience dalam merebut hati pelanggan. Hal yang sama seyogianya harus terjadi terhadap talenta-talenta kita. Memang dalam neraca perusahaan, talenta tidak pernah tercatat sebagai aset, bahkan dianggap sebagai beban.

Namun, coba Anda bayangkan bilamana “key person” Anda tiba-tiba menghilang? Siapa yang akan menjaga produktivitas organisasi agar tetap berjalan seperti biasa? Siapa yang akan memastikan pencapaian target perusahaan tercapai? Bukankah talenta adalah juga periuk nasi yang sangat penting bagi organisasi? Mengapa mereka tidak kita jadikan prioritas?

Namun, bagaimana kita dapat mengubah mindset yang tadinya menganggap talenta sebagai beban bulanan menjadi aset tetap? Bagaimana kita mengubah organisasi menjadi talent-centric?

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Hal yang jelas, kita harus menggeser fokus kita sedikit lebih jauh. Tidak hanya mencari the right man in the right place, tetapi juga menciptakan the right company bagi para talenta agar mereka justru yang mencari kita.

Pertama, kita perlu meyakini prinsip bahwa karyawan yang bahagia akan lebih produktif dan pada akhirnya mendatangkan keuntungan lebih banyak, baik kuantitas maupun kualitas kontribusinya. Mereka yang bahagia akan lebih lentur dalam pemikirannya dan terbuka menghadapi berbagai tantangan dengan sikap yang lebih positif.

Kedua, organisasi perlu menunjukkan perhatian pada perkembangan karier karyawannya. Tidak semua orang ingin naik pangkat dan menduduki jabatan tinggi. Namun, pada umumnya, orang ingin berkembang menjadi lebih baik lagi, baik dalam hal keterampilan, kematangan soft competency, relasi, maupun finansial.

Oleh karena itu, kesempatan pembelajaran perlu terus didorong oleh organisasi, baik secara formal maupun nonformal, melalui diskusi-diskusi di lapangan. Culture of feedback perlu digaungkan sehingga pertukaran masukan-masukan dapat berjalan lancar tanpa kekhawatiran terhadap penilaian.

Baca juga: Krisis Nurani

Menjaga orientasi ke talenta

Sebenarnya, kita bisa melihat banyak organisasi sudah mengumandangkan perhatiannya pada talenta mereka. Namun, dalam praktiknya, kebiasaan-kebiasaan lama sering kali terulang kembali, apalagi pada masa ketika tekanan meningkat.

Seperti halnya perkawinan, setiap pihak perlu menjaga komitmen agar suasana positif tetap terjaga. Tanggung jawab menjaga komitmen menumbuhkan organisasi yang talent-centric pun perlu dilakukan setiap insan dalam organisasi, mulai dari pimpinan sampai lini terbawah sekalipun. Kesediaan untuk membuka diri serta berdiskusi mengenai hal-hal yang dianggap penting oleh para individu dan harapan-harapan mereka perlu dilakukan secara berkala.

Baca juga: Kesadaran Diri Pemimpin

Pimpinan dan manajemen pun perlu memahami beberapa hal berikut.

  • Apakah visi dan sasaran perusahaan digambarkan dengan jelas sehingga semua orang paham dan bergerak ke arah yang sama?
  • Apakah banyak atau masih ada ide perbaikan yang tidak dipedulikan?
  • Bagaimana turn over karyawan? Apa yang menyebabkan mereka mengundurkan diri?
  • Apa pendapat karyawan tentang pencapaian atau tidak tercapainya target perusahaan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu menjadi bahan pembahasan yang serius, tanpa ada pihak yang menjadi kambing hitam. Kita perlu terbuka terhadap masukan-masukan baru, “brutal facts” yang justru bisa memicu perbaikan pada masa depan.

Pada akhirnya, kita harus ingat pada tujuan semula untuk mengutamakan manusia dan fokus pada human experience yang menyeluruh.

The Agile way is customer centric, purpose driven, capability based, and talent oriented.” – Pearl Zhu.


komentar di artikel lainnya
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com