Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Sri Mulyani Duduk Bareng Mahfud MD Beri Penjelasan Transaksi Janggal Rp 349 Triliun ke DPR

Kompas.com - 12/04/2023, 12:10 WIB
Rully R. Ramli,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati akhirnya duduk bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk memberikan penjelasan terkait transaksi janggal Rp 349 triliun kepada Komisi III DPR RI.

Dalam agenda rapat kerja itu, salah satu topik utama yang dibahas ialah terkait adanya perbedaan data yang disampaikan oleh Menkeu dalam gelaran rapat kerja Komisi XI pada 27 Maret dengan data yang disampaikan oleh Menko Polhukam dalam gelaran rapat kerja Komisi III pada 29 Maret.

Selain itu, Sri Mulyani juga berkesempatan untuk memberikan penjelesan komprehensif terkait temuan transaksi janggal Rp 349 triliun terkait Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kepada para anggota Komisi III DPR.

Tidak ada perbedaan data

Baca juga: Soal Transaksi Janggal Rp 349 Triliun, Sri Mulyani: Tak Ada Perbedaan

Mengawali paparannya, Sri Mulyani lagi-lagi menegaskan, tidak terdapat perbedaan data antara pihaknya dengan Mahfud MD selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU terkait temuan transaksi janggal Rp 349 triliun.

Pertama Ia menjelaskan, nilai transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun merupakan penghitungan agregat transaksi yang menyangkut tugas dan fungsi Kemenkeu. Di dalamnya terdapat transaksi keluar-masuk atau debit-kredit, yang dalam proses akuntansi disebut double-triple accounting.

Transaksi agregat itu merupakan rekapitulasi dari 300 surat PPATK ke Kemenkeu dan aparat penegak hukum (APH) terkait tugas dan fungsi Kemenkeu pada periode 2009-2023.

Jika dirinci, 300 surat itu terdiri dari 65 surat perusahaan atau korporasi senilai Rp 253 triliun, 36 surat terkait perusahaan atau pihak lain sebesar Rp 61 triliun, 64 surat terkait pegawai senilai Rp 13 triliun, serta 135 surat terkait korporasi dan pegawai senilai Rp 22 triliun. Adapun 100 surat dengan nilai Rp 74 triliun ditujukan kepada APH, sementara 200 surat senilai Rp 275 triliun dikirimkan ke Kemenkeu.

"Tidak ada perbedaan data karena berasal dari sumber yang sama, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisisi Transaksi Keuangan (PPATK)," ujar Sri Mulyani, dalam rapat kerja Komisi III DPR, Selasa (11/4/2023).

Hampir seluruh surat sudah ditindaklanjuti

Terkait dengan 200 surat yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu, hampir seluruhnya sudah ditindaklanjuti. Sri Mulyani menyebutkan, 187 surat sudah ditindaklanjuti.

"Kalau ini menyangkut pegawai Kemenkeu dan laporan dari PPATK yang menyebutkan pegawai Kemenkeu yang dikirim kepada kami kami telah menindaklanjuti," kata dia.

"Menggunakan mekanisme UU Nomor 5 2014 dan PP 94 2021 terutama di dalam menetapkan hukuman tindakan disiplin administratif terhadap pegawai yang bersangkutan," tambah dia.

Wanita yang akrab disapa Ani itu bilang, dari 200 surat PPATK yang dikirimkan ke Kemenkeu pada periode 2009-2023, 186 di antaranya telah ditindaklanjuti, di mana hasilnya terdapat 193 pegawai terkena hukuman disiplin.

"Ini periode 2009-2023. Sementara 9 surat ditindaklanjuti ke APH (aparat penegak hukum)," ujarnya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani juga memastikan, Kemenkeu akan terus menindaklanjuti dugaan terjadinya tindak pidana asal (TPA) dan tindak pidana pencucian (TPPU) sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

"Bekerja sama dengan PPATK dan aparat penegak hukum terkait," katanya.

Beda cara klasifikasi

Baca juga: DPR Minta Mahfud MD dan Sri Mulyani Samakan Cara Klasifikasi Transaksi Janggal Rp 349 Triliun

Lebih lanjut Sri Mulyani kebali memberikan penjelasan terkait adanya perbedaan data paparan antara dirinya dengan Mahfud MD beberapa waktu lalu. Secara garis besar, perbedaan paparan itu disebabkan oleh adanya perbedaan cara klasifikasi antara Menkeu dan Menko Polhukam sebagai Ketua Komite TPPU.

Adapun cara klasifikasi pertama yang dilakukan Kemenkeu ialah membedakan surat berkaitan dengan korporasi perusahaan dengan surat berkaitan dengan korporasi atau perusahaan di lingkungan Kemenkeu.

"Di sini PPATK mengidentifikasi ada kegiatan perusahaan sebesar Rp 253 triliun yang dituang dalam 65 surat mengenai kegiatan perusahaan itu yang dalam hal ini Kemenkeu diminta untuk melihat kemungkinan terjadinya tindak pidana pencucian uang. Jadi isinya debit, kredit dan seluruh transaksi operasional perusahaan korporasi termasuk dalam hal ini Rp 189 triliun yang disebutkan secara khusus," tutur Sri Mulyani.

Kemudian, Kemenkeu juga membedakan data antara yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu dan yang dituju kepada APH. Hal ini kemudian yang membedakan nilai transaksi berkaitan dengan pegawai Kemenkeu yang disampaikan Menko Polhukam dengan Menkeu.

Sri Mulyani menyebutkan, terdapat 135 surat senilai Rp 22 triliun berkaitan dengan pegawai Kemenkeu yang dikirimkan PPATK ke Kemenkeu. Sementara itu 64 surat lain senilai Rp 13 triliun dikirimkan PPATK ke APH.

Terkait dengan surat-surat senilai Rp 22 triliun sendiri, Kemenkeu kembali memilahnya menjadi data yang berkaitan dengan korporasi menyangkut pegawai Kemenkeu senilai Rp 18,7 triliun serta berkaitan pegawai Kemenkeu sendiri senilai Rp 3,3 triliun.

"Pak Menko menyampaikan Rp 35 triliun karena itu semua menyebut nama pegawai Kemenkeu, Rp 22 triliun yang ditujukan ke kita, Rp 13 triliun di APH," kata Sri Mulyani.

Senada dengan Mahfud MD

Sebelum Sri Mulyani menyampaikan paparan, Menko Polhukam Mahfud MD sebenarnya sudah memastikan, data yang disampaikan oleh pihaknya dan Menkeu Sri Mulyani terkait laporan transaksi mencurigakan tidak ada yang berbeda. Adapun angka transaksi mencurigakan yang diduga merupakan tindak pidana pencucian uang pun sama, yakni Rp 349 triliun.

Meski demikian, Mahfud menyadari bahwa ada saja anggapan perbedaan data di antara keduanya. Perbedaan itu, kata Mahfud, terlihat karena cara klasifikasi dan penyajian data yang tidak sama antara dirinya dan Sri Mulyani.

"Ketua Komite TPPU mencantumkan LHA/LHP yang melibatkan pegawai Kemenkeu baik berupa LHA maupun LHP yang dikirimkan ke Kemenkeu maupun yang dikirimkan ke APH (Aparat Penegak Hukum)," kata dia.

"Sedangkan Kemenkeu hanya mencantumkan LHA LHP yang diterima, tidak mencantumkan LHA LHP yang dikirimkan ke APH terkait pegawai Kemenkeu," sambung Mahfud.

Menanggapi penjelasan tersebut, beberapa anggota Komisi III DPR RI justru meminta kepada Menko Polhukam dan Menkeu untuk menyamakan cara penyajian atau klasifikasi data terkait transaksi agregat berkaitan dugaan TPPU terkait Kemenkeu itu.

"Datanya sama, karena sumbernya sama. Memang itu tidak pernah ada yang mempermasalahkan bahwa itu berbeda, karena memang sumbernya sama," ujar Anggota Komisi III DPR Fraksi NasDem, Taufik Basari.

Akan tetapi, Taufik menilai, apabila dalam penyajian atau klasifikasi data tersebut terdapat perbedaan antara pihak satu dengan lainnya, maka data tersebut dapat dikatakan berbeda.

"Ketika kategorisasi dan cara penyajian berbeda, kalau menurut saya istilahnya data berebda. Model penyajian A dan model penyajian B berbeda, berarti datanya berbeda," tuturnya.

Oleh karenanya, Ia meminta kepada Mahfud MD dan Sri Mulyani yang tergabung dalam Komite KNPP TPPU untuk menyamakan cara penyajian nilai total transaksi agregat berkaitan dengan dugaan TPPU itu. Penyamaan cara penyajian data disebut Taufik akan berimplikasi terhadap tindak lanjut temuan dugaan TPPU.

"Karena kita rapat ini kan bicara tindak lanjut. Kalau kategori berbeda dengan cara penyajian berbeda tentu tindak lanjut berbeda," ujarnya.

"Karena itu kami memohon agar kita mendapatkan satu kepastian penyajian dan kategorisasi data, yang ini bisa harus bisa menjadi pegangan kita untuk tindak lanjut," tambahnya.

Senada, Anggota Komisi III DPR Fraksi PAN Sarifuddin Suding meminta kepada Komite KNPP TPPU untuk menyamakan cara penyajian data terkait transaksi periode 2009-2023 itu. Suding bilang, penyamaan data menjadi penting untuk memberikan kejelasan kepada publik.

"Dalam satu komite kok ada dua data yang berebda, Saya kira harus disamakan. Walaupun sumbernya sama, tapi paling tidak ada satu kesamaan supaya masyarakat pun, kita pun juga bisa paham," ucapnya.

Baca juga: Sri Mulyani Sebut 186 Surat yang Dikirim PPATK Sudah Ditindaklanjuti, 193 Pegawai Dikenakan Hukuman

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com