Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik KCJB: Molor dan Biaya Bengkak, Kini Terjebak Bunga 3,4 Persen

Kompas.com - Diperbarui 13/04/2023, 07:56 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, baru saja melaporkan hasil lawatannya ke China pada 4-6 April 2023.

Pembicaraan soal utang dan bunga pinjaman pembiayaan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) jadi pembahasan utamanya. Proyek ini pada awalnya digadang-gadang murni bisnis, namun kemudian pemerintah meralatnya karena kini ikut dibiayai APBN.

Kedua negara juga telah menyepakati nilai pembengkakan biaya (cost overrun) Proyek Strategis Nasional (PSN) ini sebesar Rp 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,02 triliun.

Angka tersebut merupakan hasil audit setiap negara yang kemudian disepakati bersama. Dengan demikian, biaya total proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp 108,14 triliun.

Nilai setelah pembengkakan ini sejatinya jauh melampaui investasi dari proposal Jepang melalui JICA yang memberikan tawararan proyek KCJB sebesar 6,2 miliar dollar AS dengan bunga 0,1 persen.

Baca juga: Pernah Dilawan Jonan, Konsesi KCJB Kini Malah Diizinkan Jadi 80 Tahun

Di lini masa, publik Tanah Air pun menyoroti masalah besaran bunga tinggi yang kemudian dinegosiasi belakangan.

Banyak kalangan beranggapan, kalau memang pemerintah Indonesia keberatan dengan bunga tinggi dari China dan adanya potensi penambahan utang akibat cost overrun, kenapa Presiden Jokowi sejak awal tetap menerima tawaran Beijing.

Soal besaran bunga utang, Luhut juga mengakui kalau dirinya gagal mendesak China menurunkan bunga. Sehingga pemerintah negara komunis itu masih berkukuh bunga yang harus dibayarkan sebesar 3,4 persen per tahun dari sebelumnya 4 persen.

"Ya maunya kita kan 2 persen, tapi kan enggak semua kita capai. Karena kalau pinjam keluar juga bunganya itu sekarang bisa 6 persen. Jadi kalau kita dapat 3,4 persen misalnya sampai situ ya we're doing okay, walaupun tidak oke-oke amat," ucap Luhut dikutip pada Kamis (13/4/2023).

Luhut bilang, pemerintah Indonesia akan kembali melakukan negosiasi penetapan bunga pinjaman dengan pemerintah China agar tidak memberatkan keuangan negara.

Baca juga: Bunga Utang China untuk KCJB Ternyata 3,4 Persen, Sebelumnya 2 Persen

"Tapi kita masih mau negosiasi lagi. Untuk pembiayaan cost overrun, kami sedang finalkan negosiasi mengenai suku bunga (dengan Bank Pembangunan China/CDB)," ujar Luhut.

"Suku bunga sudah turun dari 4 persen, (tetapi) kita masih ingin lebih rendah lagi. Juga mengenai struktur penjaminan dan tenor tau jangka waktu, ini tinggal finalisasi,” kata Luhut.

Luhut bilang, suku bunga yang diajukan 2 persen tersebut dimulai pada 2017. Namun, dibandingkan dengan obligasi Amerika Serikat (AS), suku bunga yang diberikan China justru lebih rendah.

"Jadi sebagai perbandingan, kita 2 persen itu kan suku bunga waktu 2017. Waktu itu suku bunga industrinya rendah. Kalau kita lihat cost overrun mereka 3,4 persen itu sekitar 0,2 persen di bawah obligasi di bawah Pemerintah AS yang 30 tahun," jelasnya.

Baca juga: Andai China Ngotot Bunga KCJB Mentok di 3,4 Persen, Luhut: Okay

"Atau kalau dibandingkan dengan obligasi AS-RI yang 30 tahun, itu 5,6. Jadi ini sebenarnya bunga yang ditawarkan sudah lebih rendah dibandingkan dengan bunga Pemerintah AS ataupun bunga obligasi AS dari Pemerintah RI," lanjut Luhut.

Luhut pun optimis, pemerintah bisa membayar utang pinjaman tersebut. Hal ini karena rasio pajak Indonesia yang menunjukan tren positif.

"Gak ada masalah (dengan suku bunga pinjaman 3,4 persen), kamu kok ragukan negaramu? Kalian jangan underestimate (meremehkan) bahwa negara kita ini semakin efisien makin baik," ujarnya.

Dirasa tidak adil bagi Indonesia

Dikutip dari Harian Kompas, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pembiayaan cost overrun yang hanya ditanggung Pemerintah Indonesia tidaklah adil dan hanya menguntungkan kreditor China.

Baca juga: Tidak Fair kalau Semua Pembengkakan Biaya KCJB Ditanggung RI

Sebab, pembengkakan biaya ini berakar dari kesalahan proses perencanaan dan studi kelayakan (feasibility study) dari kedua pihak.

”Waktu itu, proses perencanaan proyek overoptimistis dan kreditor menawarkan bunga murah. Tetapi begitu dijalankan, ada biaya bengkak," ujar Bhima.

"Apa semua tanggung jawab BUMN dan Pemerintah Indonesia? Ini, kan, kurang fair. Beban utang dari kereta cepat juga akan semakin menimbulkan efek berantai pada defisit APBN,” katanya lagi.

Nantinya, konsumen juga akan terbebani oleh pembengkakan biaya sebab harga tiket harus dinaikkan demi melunasi utang.

Baca juga: Jonan Dulu Bilang, Jakarta-Bandung Terlalu Pendek untuk Kereta Cepat

Kalau harga tiket naik, jumlah penumpang berisiko tak mencapai proyeksi ideal. Akibatnya, subsidi negara untuk kereta cepat akan semakin berat.

Maka, skema ideal yang Bhima tawarkan adalah berbagi beban antara Indonesia dan China. Opsi yang terbuka adalah debt swap atau menukar utang kereta cepat yang harus dibayarkan Pemerintah Indonesia ke China dengan program subsidi tiket yang direncanakan.

”Jadi, beban utang bisa berkurang, sementara kreditor China akan menyubsidi tiket sebagai bagian dari goodwill (niat baik) terhadap masyarakat Indonesia,” kata Bhima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com