Selama keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada insentif yang diberikan, publik akan memahami dan mendukung seluruh kebijakan pemerintah.
Salah satu yang mendasari kebijakan pemerintah terkait insentif pembelian EV adalah efisiensi energi yang berkelanjutan.
Dengan adanya peralihan sumber energi dari yang berbasis fosil menjadi listrik, akan tercipta penghematan penggunaan energi fosil secara signifikan yang selama ini diyakini tidak efisien dan tidak bersahabat dengan lingkungan dalam jangka panjang.
Selain itu, keuntungan paling signifikan adalah mengurangi tingkat risiko beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang timbul akibat volatilitas harga minyak dunia, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, dan defisit lifting migas yang semakin besar.
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah harus merombak struktur APBN pada pertengahan tahun 2022 sebagai akibat dari melejitnya harga minyak bumi dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Anggaran subsidi energi naik Rp 74,9 triliun atau 48,8 persen dari pagu yang telah dianggarkan.
Sedangkan dana kompensasi BBM dan Listrik naik dari Rp 18,5 triliun menjadi Rp 293,5 triliun atau naik sekitar 512,7 persen dari pagu anggaran dalam APBN 2022 yang telah ditetapkan.
Perubahan struktur APBN ini dapat berdampak fatal dan meluluhlantahkan semua rencana yang telah ditetapkan.
Beruntungnya, turbulensi ini terjadi di tengah naiknya pendapatan negara sebagai akibat dari melejitnya harga beberapa komoditas dunia sehingga APBN masih dapat berperan sebagai peredam kejut (shock absorber) bagi perekonomian di tengah pandemi Covid-19.
Tidak terbayang jika turbulensi ekonomi pada 2022 tersebut terjadi pada waktu Indonesia tidak memiliki cadangan pendapatan yang cukup memadai. Sudah bisa dipastikan Indonesia akan masuk ke dalam jurang krisis yang sangat dalam.
Keberuntungan ini tidak bisa dipastikan dapat terulang. Sangat mungkin turbulensi ekonomi datang pada waktu yang tidak tepat ketika bangsa dan negara benar-benar tidak siap menghadapinya.
Oleh karena itu, langkah meminimalkan risiko dengan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil menjadi langkah realistis yang patut diapresiasi.
Namun, peralihan energi ini juga harus diperhitungkan dan dilakukan secara cermat. Kenaikan permintaan dan kebutuhan energi listrik akibat konversi energi menjadi masalah tersendiri yang sampai saat ini belum terurai dengan baik.
Menurut catatan pemerintah, konversi ke EV akan meningkatkan permintaan listrik sebesar 15,2 giga watt per hour. Sejauh ini PT. PLN belum bisa menjelaskan bagaimana cara memenuhi peningkatan permintaan listrik tersebut.
Masalah ini semakin pelik karena lebih dari 80 persen pembangkit listrik milik PT. PLN masih menggunakan mesin diesel yang menggunakan solar sebagai bahan bakarnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya