Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Satu Pemuda Satu Produk

Kompas.com - 04/05/2023, 15:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bertambahnya jumlah entrepreneur juga dapat mengubah kebiasaan dari eksportir bahan baku atau raw material, menjadi negara yang memproduksi produk jadi. Sehingga rantai produksi lebih panjang, dan menyerap lebih banyak lapangan pekerjaan.

Ketiga, menyikapi bonus demografi. Kondisi di mana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas dan 15 tahun ke bawah). Usia produktif proporsinya akan lebih dari 60 persen, dari total jumlah penduduk Indonesia.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut bonus demografi di Indonesia puncaknya ada pada 2030 hingga 2040. Itu artinya, jumlah usia angkatan kerja akan menjadi sangat dominan.

Tentu saja ini merupakan suatu berkah. Melimpahnya jumlah penduduk usia kerja atau produktif akan menguntungkan dari sisi pembangunan yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi ke tingkat lebih tinggi.

Bila skenario itu berjalan atau yang terjadi, tentu implikasinya adalah meningkatkannya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Namun berkah ini bisa berbalik menjadi bencana jika bonus ini justru diabaikan atau tidak diantisipasi. Masalah yang paling nyata adalah terkait ketersedian lapangan pekerjaan.

Sebab yang kerap menjadi pertanyaan adalah apakah negara kita mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk menampung lonjakan penduduk usia produktif itu? Bila iya, mampukah sumber daya manusia yang ada kompetitif atau berdaya saing?

Ini adalah pertanyaan yang mesti bisa dijawab bersama. Karena menjadi tantangan tersendiri, mengingat fakta yang ada menunjukan Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih tergolong rendah.

Laporan IPM yang dirilis secara global oleh United Nation Development Programme (UNDP) 2020 dengan mempertimbangkan tiga aspek, yaitu usia, pendidikan dan ekonomi, negara kita menduduki peringkat ke 107 dari 189 negara yang dianalisis.

Dari data itu, dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima. IPM Indonesia kalah dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand, negara kita bersama Filipina berada di peringkat yang sama.

Tingkat IPM yang rendah ini turut berimplikasi pada kurang kompetitifnya pekerja Indonesia di dunia kerja, baik di dalam maupun luar negeri. Pekerja Indonesia di luar negeri sebagian menjadi asisten rumah tangga. Tak sedikit yang disiksa dan direndahkan.

Untuk dalam negeri sekalipun, kualitas pekerja Indonesia kerap kalah dibanding pekerja asing. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peluang kerja dan posisi strategis yang malah ditempati tenaga kerja asing.

Permasalahan pembangunan sumber daya manusia inilah yang seharusnya bisa perhatikan. Jangan sampai bonus demografi justru membebani negara karena masalah yang mendasar; rendahnya kualitas sumber daya manusia.

Selain jalur pendidikan formal, mengadakan pelatihan dan kursus, utamanya kepada pemuda agar dapat meningkatkan kapasitas diri dan mampu mengelola potensi daerah adalah upaya yang perlu dilakukan dengan lebih serius.

Kapasitas usia produktif, dalam hal ini pemuda, yang kian meningkat dan kemudian menghasilkan berbagai produk dari potensi yang ada, akan turut menjawab kekhawatiran dampak buruk dari bonus demografi dan persaingan pasar bebas.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com