JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendesak pemerintah untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Menurut dia, platform seperti TikTok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
“Mau diatur sebagai e-commerce, dia dianggap media sosial. Mau diatur sebagai media sosial tapi dia punya e-commerce,” kata Bhima dalam siaran pers, Rabu (11/7/2023).
Menurut Bhima, social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag.
Dengan demikian, aturan-aturan teknisnya menjadi jelas, termasuk mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari beberapa produk yang sudah diatur, khususnya kebutuhan pokok.
Baca juga: Project S TikTok Berpotensi Ancam UMKM, Pemerintah Diminta Antisipasi
Dia menilai, TikTok Shop harus patuh pada aturan perpajakan di Indonesia. Dengan begitu, dari sisi perpajakan, ada level playing field yang sama dengan platform e-commerce sehingga persaingan akan menjadi lebih sehat.
“Sebab, adanya TikTok Shop ini sebetulnya menggerus platform e-commerce yang bayar pajak, sementara model social commerce tidak membayar pajak,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai pengawasan dan perlindungan konsumen. Selama ini, pengawasan terhadap produk yang ditawarkan melalui social commerce tidak dilakukan dengan ketat.
Hal itu membuat masyarakat tidak tahu apakah barang asli atau palsu. Hal ini tentu akan meresahkan masyarakat.
“Kalau dibiarkan, platform seperti TikTok Shop ini dikhawatirkan akan menjadi tempat transaksi barang-barang ilegal maupun barang-barang bermasalah karena tidak diregulasi secara ketat layaknya e-commerce,” tutur Bhima.
Baca juga: Syarat dan Cara Daftar Akun TikTok Shop untuk Jualan Online
Itu sebabnya, Bhima mendesak pemerintah segera merilis aturan dalam bentuk Permendag maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai social commerce, entah dalam peraturan terpisah maupun revisi dari peraturan sebelumnya.
“Jangan sampai social commerce ini dianakemaskan di tengah kekosongan regulasi,” tegas Bhima.
Berdasarkan laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan 52 milliar dollar AS atau sekitar Rp 777 triliun untuk berbelanja online. Jumlah itu lebih dari setengah belanja online di seluruh Asia Tenggara yang mencapai 99,5 miliar dollar AS atau Rp 1,487 triliun.
Baca juga: Tren Social Commerce Marak, YLKI: Perlu Diatur agar Data Pengguna Aman
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki juga sembat menyinggung kekhawatiran akan agresivitas berbagai platform social commerce yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.
Teten mengatakan, melalui berbagai fitur-fitur baru yang ditawarkan, penjualan melalui platform social commerce terus melambung tinggi. Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian menteri Teten adalah project S yang dirilis oleh TikTok.
“Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten sebelumnya.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor.
Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga 6,9 miliar dollar AS.
Menurut Kemenkop-UKM, revisi Permendag 50/2020 akan melindungi industri dalam negeri, termasuk e-commerce lokal, UMKM, dan konsumen. Dengan revisi ini harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM.
Permendag 50 ini diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum diterbitkan aturan yang lebih detail. Dalam revisi Permendag No. 50 terdapat sejumlah regulasi yang akan diatur ulang.
Contohnya tentang predatory pricing yang diduga banyak dilakukan oleh platform e-commerce asing yang juga melakukan praktik cross border.
“Predatory pricing itu bisa membunuh produk dalam negeri dan UMKM, dan itu sudah tidak masuk akal, dimana ada kekuatan ekonomi besar yang bakar uang yang membunuh UMKM,” tegas Teten.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya