Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Menuju Era Baru Deglobalisasi

Kompas.com - 14/09/2023, 06:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APA yang ada di dalam benak Anda ketika mendengar kata globalisasi? Sejak 1990-an, kata “globalisasi” mulai populer digunakan pasca-Perang Dingin, ketika perkembangan teknologi mulai mengintegrasikan aktivitas ekonomi sejumlah negara, sehingga memperderas arus perdagangan dan pergerakan modal di seluruh dunia.

Globalisasi sejatinya merupakan terminologi yang sulit didefinisikan secara komprehensif oleh para ahli.

Namun demikian, beberapa definisi yang membahas arti dari globalisasi mengungkap bahwa kunci dari fenomena tersebut adalah eksistensi dari interkoneksitas.

Dalam globalisasi, berbagai aktor lintas negara saling terhubung satu sama lain, dan berbagai proses interaksi sosio-ekonomi dapat dilaksanakan hingga melewati batas geografis manapun di dunia.

Globalisasi tidak hanya menyasar pada fenomena di sektor ekonomi, tetapi juga pada aspek-aspek sosial lainnya.

Terlepas dari tidak meratanya distribusi kesejahteraan dan konsekuensi ekologi di tengah dunia yang semakin terhubung sebagai kritik dari fenomena ini, dampak dari globalisasi nyatanya juga memunculkan berbagai peluang dan efek positif dari sudut pandang pertumbuhan ekonomi serta peningkatan standar hidup masyarakat.

Akan tetapi, berbagai kejadian di kancah politik internasional beberapa tahun belakangan dipandang oleh beberapa ahli di bidang ilmu sosial sebagai antitesis nyata dari globalisasi itu sendiri.

Anthony Giddens dalam bukunya berjudul “The Consequences of Modernity”, menyebut bahwa kebangkitan nasionalisme dan menguatnya keutamaan identitas lokal adalah fenomena yang berseberangan dengan semangat interkoneksitas dalam globalisasi.

Pada Desember 2022 lalu saja, Morris Chang, pendiri Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dalam acara pembukaan chip plant di Phoenix, Arizona, menyebut: “globalization is almost dead and free trade is almost dead … I don’t think they will be back”.

Bangkitnya berbagai semangat partikularisme ini sangat terasa dalam beberapa waktu belakangan, bahkan dilakukan oleh negara-negara maju sebagai bagian dari pemenuhan kepentingan nasionalnya.

Sebagai contoh, Amerika Serikat saat ini tengah mengusulkan kebijakan “Inflation Reduction Act” sebagai upaya dalam menurunkan angka inflasi di negaranya sendiri.

Namun bagi negara-negara lain, kebijakan ini jelas merupakan upaya deglobalisasi ekonomi dengan meng-onshore-kan berbagai modal yang telah keluar dari AS, atau dengan kata lain, mengembalikan semua investasi ke Negeri Paman Sam itu sendiri.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan AS terhadap hubungan dagang dan pengaruh besarnya investasi Tiongkok yang luar biasa masif.

Hubungan AS dan Tiongkok sebagai dua raksasa ekonomi tentunya akan memengaruhi arus modal di berbagai negara, yang dapat memengaruhi kondisi perekonomian di negara-negara berkembang.

Berbagai kebijakan lain yang berbau proteksionisme juga membuat fenomena antitesis globalisasi pada ekonomi dunia semakin nyata terlihat. Contohnya Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang memberlakukan aturan diskriminatif terhadap beberapa komoditas ekspor negara-negara berkembang.

Negara berkembang dipaksa untuk menuruti aturan yang dibuat oleh negara maju tanpa memikirkan win-win solution secara multilateral.

Narasi-narasi aktor politik di negara maju yang menguatkan polarisasi dan identitas nasional, seperti “Make America Great Again” ala Donald Trump pada Pemilu AS tahun 2016, juga terdengar sebagai slogan yang lebih mendukung tindakan unilateralisme, dibanding mempromosikan multilateralisme.

Hal-hal tersebut yang pada akhirnya mendasari semakin populernya terminologi “deglobalisasi”, sebagai lawan utama dari perkembangan globalisasi.

Deglobalisasi ditandai dengan mundurnya integrasi ekonomi global, meningkatnya kebijakan proteksionisme, dan berkembangnya semangat populisme.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com