Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Pilpres dan Politik Kebijakan Industri

Kompas.com - 15/11/2023, 10:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dengan ciri khas sistem politik demokratis Indonesia, di mana kabinet presidensial yang terfragmentasi, legislatif yang membatasi ruang gerak eksekutif, dan organisasi masyarakat sipil yang relatif lemah, presiden harus memperhatikan dinamika politik partai, konflik antarkementerian, dan respons opini publik.

Dengan begitu, keberhasilan kebijakan industri terkait erat dengan kemampuan presiden untuk mengelola kompleksitas politik dan berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan (Schlogl, 2021).

Di era demokrasi delegatif, yang ditandai dengan konsentrasi kekuasaan di tangan eksekutif dengan sedikit pengawasan dari lembaga legislatif atau masyarakat sipil, menciptakan tantangan dalam akuntabilitas horizontal.

Ini berdampak pada kebijakan industri yang tidak hanya bergantung pada persetujuan eksekutif, tetapi juga dukungan dari koalisi pemangku kepentingan yang luas.

Hal ini tercermin dalam Indeks Herfindahl partai yang rendah dalam pemerintahan saat ini yang menunjukkan fragmentasi kekuasaan di Indonesia, di mana tidak ada satu partai pun yang memiliki mayoritas absolut.

Dampak fragmentasi ini terlihat dalam kesulitan pemerintah untuk mendapatkan persetujuan DPR, seperti dalam rencana suntikan modal ke BUMN yang dikritik oleh partai oposisi.

Fragmentasi partai di Indonesia membuat siapapun presiden beserta kebijakannya, akan selalu berhadapan dengan proses negosiasi politik.

Pencapaian konsensus dengan berbagai partai politik menjadi kunci untuk mendapatkan dukungan dalam lingkungan legislatif yang terfragmentasi.

Selain itu, perhatian terhadap kepentingan beragam partai politik, termasuk yang mendukung atau menentang kebijakan industri, menjadi hal penting dalam perumusan kebijakan.

Pada 2004, indeks Herfindahl partai sebesar 0,52, yang menunjukkan bahwa kekuasaan legislatif terkonsentrasi di tangan beberapa partai besar.

Namun, indeks Herfindahl partai menurun menjadi 0,29 pada 2021 dan diperkirakan akan terus turun menjelang pemilu 2024. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan di DPR kini tersebar di banyak partai (Scartascini, 2021).

Dalam mengelola berbagai kepentingan politik, pemerintah seharusnya menghindari kesalahan dari kebijakan industri lama yang bersifat selektif-reaktif.

Artinya, saatnya kebijakan industri fokus pada subsidi pasar produk (produsen), bukan pada subsidi konsumen.

Implementasinya bisa melalui kebijakan industri “lunak” (soft industrial policy) yang bersifat fasilitatif dan koordinatif.

Hal ini bertujuan mengembangkan kerja sama antara pemerintah, industri, dan swasta, menetapkan prioritas strategis, mengatasi masalah koordinasi, dan meningkatkan produktivitas (Cherif, 2022).

Pendekatan ini, mencakup kebijakan simbiosis klaster industri, promosi investasi, pengadaan publik, dan pertumbuhan hijau, memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi daripada intervensi selektif-defensif yang lebih mahal dan distorsif.

Strategi kebijakan industri “lunak” ini juga dapat mengurangi risiko KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta sejalan dengan perjanjian perdagangan internasional yang diterapkan oleh banyak negara berkembang.

Selain itu, ada sektor-sektor di mana negara sudah memiliki keunggulan komparatif yang jelas berdasarkan faktor endemik atau pengalaman, seperti pertanian, perikanan, industri padat karya, atau pariwisata.

Pada sektor-sektor ini, presiden terpilih seharusnya tidak berlebihan menggunakan kebijakan industri “intervensionist” (hard industrial policy), mencakup rangkaian subsidi, proteksi, dan regulasi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com