JAKARTA, KOMPAS.com - Angola mengatakan bakal keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Menurut Menteri Perminyakan Angola Diamantino Azevedo, OPEC tidak lagi melayani kepentingan negara di Afrika tersebut.
Dikutip dari CNBC, Jumat (22/12/2023), keputusan Angola keluar dari OPEC dipandang sebagai pukulan terhadap organisasi produsen minyak tersebut. Sebab, dalam beberapa bulan terakhir OPEC berupaya menggalang dukungan bagi pengurangan produksi lebih lanjut guna menopang harga minyak.
Angola bergabung dengan produsen menengah lainnya, Ekuador dan Qatar, yang telah meninggalkan OPEC dalam dekade terakhir.
Baca juga: OPEC+ Sepakat Pangkas Produksi Minyak Mentah hingga 2 Juta Barrel Per Hari
“Kami merasa bahwa Angola saat ini tidak memperoleh keuntungan apa pun dengan tetap berada dalam organisasi tersebut dan, demi membela kepentingannya, memutuskan untuk keluar,” kata Azevedo, dikutip dalam pernyataan kepresidenan.
Harga minyak turun hampir 2 persen karena para analis mengatakan keluarnya Angola menimbulkan pertanyaan tentang kesatuan OPEC.
“Harga (minyak) turun karena kekhawatiran akan kesatuan OPEC+ sebagai sebuah kelompok, namun tidak ada indikasi bahwa lebih banyak negara besar dalam aliansi tersebut berniat mengikuti jejak Angola,” ujar analis UBS Giovanni Staunovo.
Angola, yang bergabung dengan OPEC pada tahun 2007, memproduksi sekitar 1,1 juta barrel minyak per hari, dibandingkan dengan 28 juta barrel per hari untuk seluruh negara anggota OPEC.
Baca juga: OPEC Peringatkan Bahaya Kurangnya Investasi di Industri Minyak
OPEC tidak segera membalas permintaan komentar. Adapun tiga orang delegasi mengatakan keputusan Angola untuk meninggalkan negaranya merupakan sebuah kejutan.
Angola tidak mampu memproduksi cukup minyak untuk memenuhi kuota OPEC sejak 2019. Negara tersebut telah berjuang untuk membalikkan penurunan produksi minyak sejak mencapai puncaknya sebesar 2 juta barrel per hari pada tahun 2008.