Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
RPP KESEHATAN

Punya Kontribusi Besar, Ini Potensi Kerugian Jika Pasal Tembakau pada RPP Kesehatan Disahkan

Kompas.com - 18/01/2024, 14:51 WIB
Anissa DW,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejumlah pasal yang termaktub dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, terutama Bagian Kedua Puluh Satu tentang Pengamanan Zat Adiktif, khususnya terkait tembakau, mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak.

Adapun bagian tersebut di antaranya memuat aturan terkait pengendalian produksi, peredaran, penjualan, impor, iklan, serta sponsorship produk tembakau dan rokok elektrik.

Sejumlah pihak menilai, apabila rancangan tersebut disahkan, dapat menyebabkan dampak negatif yang meluas, baik terhadap industri hasil tembakau (IHT) maupun sektor ekonomi yang terlibat sepanjang rantai pasok produk tembakau.

Padahal, IHT merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Sektor IHT memiliki peran besar terhadap penerimaan negara. Dari sisi ekspor, misalnya, industri pengolahan tembakau mampu menyumbang ratusan juta dollar AS untuk Tanah Air.

Baca juga: Ancaman Dampak Kerugian Negara dan PHK Massal Jika Pasal Tembakau pada RPP Kesehatan Disahkan

Kemudian, IHT juga berkontribusi sebesar Rp 218 triliun pada 2022 dan Rp 188,8 triliun pada 2021 melalui cukai hasil tembakau (CHT). Jumlah ini di luar pajak penghasilan (PPh) badan ataupun tenaga kerja industri tersebut, pajak pertambahan nilai (PPN), serta pajak daerah.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) dari IHT mencapai Rp 20,10 triliun pada kuartal II/2023. Nilai ini naik 2,51 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 19,6 triliun.

Selain berkontribusi pada sektor perekonomian, IHT juga memiliki peran sentral dalam penyerapan tenaga kerja.

Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sebagai industri padat karya, IHT mampu menyerap 5,98 juta pekerja pada 2019. Angka ini terdiri dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi yang berjumlah 4,28 juta orang serta sebanyak 1,7 juta orang di sektor perkebunan, seperti petani tembakau dan cengkih.

Berpotensi rugikan ekonomi negara dan PHK massal

Asisten Deputi V Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Ekonomi, Eko Haryanto mengatakan, penetapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan bisa memengaruhi rantai pasok produk tembakau dari hulu hingga hilir.

“Mulai dari petani tembakau, petani cengkih, tenaga kerja industri, dan distributor ritel, baik dalam skala besar maupun mikro,” ungkap Eko seperti diberitakan Kontan.co.id, Minggu (24/12/2023).

Baca juga: Mengurai Dampak pada Sektor Tembakau dan Kreatif Bila RPP Kesehatan Diketuk Palu

Dampak multiplier, kata Eko, dinilai berpotensi mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri, penurunan optimalisasi sektor hulu yang berdampak pada kesejahteraan petani, penurunan pendapatan negara, penurunan sektor industri periklanan, penurunan sektor distributor dan ritel, penurunan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tembakau, serta dampak lainnya.

“Jika dilihat di sisi hilir, banyak pelaku usaha ritel yang menggantungkan usahanya pada komoditas ini karena proporsi penjualan terbesar mereka berasal dari penjualan rokok,” paparnya.

Hal tersebut pun sejalan dengan kajian terbaru dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) yang dipaparkan di Jakarta beberapa waktu lalu. Kajian itu mengukur seberapa besar tenaga kerja yang terdampak akibat pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan.

Seorang petani sedang merawat tanaman tembakau di sawahKOMPAS.COM/ATMO Seorang petani sedang merawat tanaman tembakau di sawah

Pada studi tersebut, dipaparkan bahwa setidaknya akan ada penurunan tenaga kerja hingga 10,08 persen di sektor industri tembakau dan menurunnya serapan tenaga kerja di perkebunan tembakau hingga 17,16 persen.

Tak hanya itu, pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan pun berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara. Kajian INDEF juga mengungkapkan bahwa negara akan menanggung kerugian seratusan triliun rupiah jika pasal-pasal tembakau tersebut disahkan.

Hasil perhitungan dan analisis INDEF menunjukkan bahwa penerapan pasal-pasal tembakau pada RPP Kesehatan akan menggerus penerimaan negara.

Baca juga: Peneliti Indef Sebut Pengetatan Rokok di RPP Kesehatan Bisa Gerus PDB Indonesia hingga Rp 103 Triliun

Dari penerimaan perpajakan, misalnya, akan menyebabkan penurunan hingga Rp 52,08 triliun. Kemudian, kerugian ekonomi secara agregat yang akan ditanggung oleh negara sebesar Rp 103,08 triliun. Pertumbuhan ekonomi pun berpotensi mengalami penurunan sebesar 0,53 persen.

"Jika pasal-pasal (tembakau) ini diterapkan, penerimaan negara akan turun. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang lebih mendalam ketika merumuskan RPP Kesehatan ini," kata Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (26/12/2023).

Kembali ke PP 109 Tahun 2012

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto mendorong agar pemerintah mengefektifkan aturan yang sudah ada, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012.

Sebagai informasi, PP Nomor 109 Tahun 2021 mengatur tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Sebab, menurutnya, hal tersebut jauh lebih baik ketimbang membuat aturan baru, tetapi justru berpotensi bertentangan dengan substansi Undang-Undang (UU) di atasnya, yakni UU Kesehatan.

Adapun menurut Adik, terdapat sejumlah aturan pelarangan dalam draf RPP yang perlu dikaji ulang, seperti larangan penjualan rokok secara eceran, larangan iklan produk tembakau di tempat penjualan, ruang publik, dan internet, serta dorongan bagi petani untuk alih tanam.

Baca juga: Asosiasi Ritel: Pasal-pasal Tembakau di RPP Kesehatan Bisa Matikan Pedagang Kecil

Adik mengingatkan bahwa UU Kesehatan tidak menempatkan produk tembakau sebagai komoditas terlarang. Selain itu, UU yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Juli 2023 itu juga tidak melarang penjualan ataupun promosi produk tembakau.

"Kalau melihat draft RPP (Kesehatan) yang ada, produk tembakau seolah jadi barang terlarang. Di sinilah pemerintah perlu menelaah lagi dengan lebih hati-hati," ujarnya seperti dikutip dari Kompas.TV, Jumat (29/9/2023).

Adik melanjutkan, di luar permasalahan kesehatan, pemerintah memiliki kepentingan besar menjaga ekosistem pertembakauan dan IHT. Pasalnya, bisnis pertembakauan dari hulu ke hilir beserta efek bergandanya telah menjadi tempat bergantung jutaan masyarakat Indonesia.

“Akan tetapi, yang didapat teman-teman di ekosistem pertembakauan dan IHT justru tekanan yang terus datang bertubi-tubi, terutama dari pemerintah. Itu realitas di lapangan,” ucap Adik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com