KOMPAS.com – Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menyusun draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan.
RPP yang merupakan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan itu dinilai sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan transformasi kesehatan di Tanah Air.
RPP Kesehatan sendiri akan mengatur sejumlah hal, mulai dari pelayanan kesehatan, upaya kesehatan, tenaga medis dan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, sediaan farmasi, hingga teknologi dan sistem informasi kesehatan.
Baca juga: Mengurai Dampak pada Sektor Tembakau dan Kreatif Bila RPP Kesehatan Diketuk Palu
Dari berbagai pembahasan tersebut, sejumlah pasal yang termaktub dalam Bagian Kedua Puluh Satu tentang Pengamanan Zat Adiktif, khususnya terkait tembakau, menuai banyak kritikan.
Adapun bagian tersebut menjabarkan tentang pengendalian produksi, impor, peredaran, iklan rokok, serta larangan-larangan terkait penjualan dan sponsorship produk tembakau serta rokok elektrik.
Sejumlah pihak menilai bahwa RPP Kesehatan perlu dikaji ulang. Sebab, aturan itu dianggap merugikan banyak pihak, khususnya industri hasil tembakau (IHT).
IHT sendiri merupakan industri padat karya yang memiliki kemaslahatan bagi sejumlah pihak. Industri ini juga menghasilkan cukai hasil tembakau (CHT) yang berkontribusi pada penerimaan negara senilai Rp 218 triliun pada 2022 dan Rp 188,8 triliun pada 2021. Jumlah ini di luar pajak penghasilan (PPh) badan ataupun tenaga kerja industri tersebut.
Baca juga: Sejumlah Pasal di RPP Kesehatan Dinilai Ancam Sektor Pertembakauan
Hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang dipaparkan di Jakarta (20/12/2023) menyebutkan, pengesahaan RPP Kesehatan dapat merugikan negara hingga Rp 103 triliun. Aturan ini juga berpotensi menurunkan penyerapan tenaga kerja hingga 10 persen.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, pemberlakuan RPP Kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak hanya berdampak terhadap IHT, tetapi juga sektor ekonomi terkait, mulai dari petani cengkih, petani tembakau, tenaga kerja industri, ritel, hingga jasa periklanan.
"(Dampak) itu akan merembet ke sektor-sektor yang lain, dari hulu sampai hilir, sehingga secara agregat nilai produk domestik bruto (PDB) bisa tergerus hingga Rp 103 triliun. Jadi, multiplier effect-nya mungkin cukup besar," kata Heri.
Pada kesempatan terpisah, pakar hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyampaikan bahwa pemerintah harus mampu mengganti sumber pemasukan negara yang berjumlah sekitar 9 sampai 13 persen dari total penerimaan pajak.
“Pengesahan RPP tersebut berpotensi membuka ruang bagi penyelundupan hasil tembakau dari luar negeri dan rokok ilegal,” ujarnya.
Pria yang juga merupakan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Cimahi itu juga mengatakan, RPP Kesehatan harus mempertimbangkan semua aspek.
Menurut dia, saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek.
Baca juga: Kata Pengusaha Rokok dan Vape soal Pasal Zat Adiktif di RPP Kesehatan
Hikmahanto menilai, isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan