Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata Peternak Sapi Perah: Banyak Susu Dicampur Air, Tak Efektif Atasi Stunting

Kompas.com - Diperbarui 11/02/2024, 22:33 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Kekurangan gizi atau stunting menjadi salah satu masalah besar pada anak-anak Indonesia yang masih perlu mendapatkan perhatian.

Sebab, stunting tidak hanya dapat memengaruhi tinggi dan berat badan anak, tetapi juga tumbuh kembang, serta intelektualitas anak di kemudian hari. Data terbaru, kebutuhan rata-rata susu di Indonesia sudah mencapai 4,4 juta ton per tahun.

Banyak yang beranggapan, susu bisa efektif mengatasi stunting. Kampanye minum susu di berbagai daerah pun digencarkan.

Ironisnya, peternak susu sapi perah lokal hanya bisa memenuhi sekitar 20 persen saja. Sementara sisanya sebesar 80 persen susu dipenuhi dari impor (susu impor).

Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito, agak ragu susu yang banyak beredar di pasaran bisa mengatasi masalah stunting bila melihat dari sisi kualitasnya.

Baca juga: Biang Kerok Indonesia Sangat Bergantung Susu Impor

Kata Agus, susu yang banyak diklaim sebagai susu segar cair di Indonesia, sejatinya banyak yang berasal dari susu skim impor yang dicairkan di Indonesia lalu ditambahkan air.

"Kita senang saja bersaing kalau yang diimpor susu segar cair. Tapi yang terjadi, susu impor itu susu skim. Rakyat kita selama ini dijejali dengan produk susu skim bubuk," beber Agus saat dihubungi, dikutip pada Minggu (11/2/2024).

Impor susu dalam bentuk skim sangat beralasan, karena dalam susu bubuk memudahkan dalam pengiriman. Namun di sisi lain, susu dalam bentuk kering tentunya mengorbankan kualitas karena hilangnya nutrisi yang dikandungnya.

"Memang jadi efisien (susu skim impor). Tapi jatuhnya di sisi lain kualitasnya turun jauh. Karena susu yang awalnya cair (di negara asal) dikeringkan dengan pemanasan berkali-kali supaya jadi skim," ungkap Agus.

Baca juga: Pengamat soal Impor Pangan: Bukan Hanya Beras, Garam Pun Impor

"Kemudian setelah jadi bubuk, dikirim ke Indonesia, oleh pabrik-pabrik susu di sini dicairkan lagi dengan pemanasan lagi. Artinya susu kembali mengalami proses pemanasan lagi berkali-kali. Otomatis nilai gizinya turun drastis, tinggal 40-45 persen saja," kata dia lagi.

Susu dicampur air

Agus yang juga menjabat Ketua Koperasi Susu Andini Luhur Kabupaten Semarang ini berujar, banyak pabrik susu di Indonesia kemudian mencampur lagi susu skim yang sudah dicairkan melalui ultra proses dengan air. Imbasnya, kualitas susu lagi-lagi merosot.

"Sudah mengalami ultra proses berkali-kali, lalu masih dicampur air, lalu dijual mahal oleh pabrik susu di sini. Jadi ibaratnya banyak orang Indonesia realita sebenarnya minum air tapi rasa susu," ucap dia.

Dominannya campuran air pada kemasan susu cair yang beredar di Indonesia, kata Agus, bisa dibuktikan dari label komposisi yang ada pada kemasan susu yang dijual di pasaran.

Baca juga: Mengapa RI Sangat Bergantung Impor Susu?

Agus secara blak-blakan menyebut, banyak susu UHT (ultra high temperature) kemasan yang dijual di Indonesia komposisinya malah lebih dominan airnya dibanding susunya.

"Makanya anak-anak penduduk Indonesia konsumsi susunya setiap tahun naik, tapi tumbuh (badannya) tidak maksimal. Karena yang diminum bukan susu segar seperti di negara lain," tutur Agus.

"Anak-anak kita di perkotaan, itu mengonsumsi susu bubuk yang dicairkan lagi, lalu dikasih air. Konsumsi susu per kapita orang Indonesia memang sudah 16-17 liter per tahun. Tapi ingat, itu bukan susu segar," bebernya lagi.

Di negara yang jadi pengekspor susu, masyarakatnya mengkonsumsi susu segar, bukan susu olahan, terlebih yang dicampur dengan air. Itu sebabnya, susunya pun jauh lebih berkualitas dibandingkan susu yang banyak beredar di Indonesia.

"Kalau di negara-negara yang dia mengolah susu segar, pertumbuhan anak-anak yang mengonsumsi susu segar lebih bagus, kecerdasannya juga bagus, sementara negara kita dijejali susu skim," kata Agus.

Baca juga: Menteri Suharso Sebut Subsidi Energi Bisa Direalokasikan untuk Atasi Stunting 

Agus bahkan berani menyebut, kalau Indonesia adalah negara dengan konsumsi susu skim per kapitanya paling tinggi di seluruh dunia.

"Anda bisa cari datanya di internet, konsumsi susu UHT skim per kapita, dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia adalah yang terbesar," ucap Agus.

Khawatirkan kandungan gula

Sementara itu dihubungi Kompas.com, ahli gizi anak dr Tan Shot Yen mengungkapkan susu selain ASI sebenarnya tidak direkomendasikan untuk pencegahan stunting. Faktor pertama adalah intoleransi laktosa di Indonesia yang cukup tinggi.

Intoleransi laktosa adalah ketidakmampuan mencerna laktosa dalam susu atau makanan yang berasal dari susu dengan gajala seperti perut kembung, nyeri, diare, dan gejala lainnya.

Soal susu yang beredar di Indonesia, dr Tan lebih menyoroti soal tingginya kandungan gula pada beberapa merek susu pabrikan, baik cair maupun dalam bentuk bubuk. 

"Studi ilmiah secara konsisten menunjukan bahwa kandungan gula yang ada pada susu UHT cukup tinggi. Sebagian besar produk susu baik cair maupun bubuk yang beredar di pasaran Indonesia memiliki kandungan gula total yang cukup tinggi, yakni antara 3,5 gram sampai 11,25 gram per saji (100 ml) atau 13,5 gram per saji," terang dr Tan.

Kadar gula ini, lanjut dia, melanggar rekomendasi gula tambahan untuk anak usia di bawah 2 tahun dan melewati batas konsumsi gula anak di atas usia 2 tahun yang tidak boleh melebihi 6 sendok teh (25 gram) gula tambahan per hari.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan, susu UHT cair dan susu formula bayi juga termasuk ultra proses karena sudah melalui beragam proses pengolahan serta penambahan rasa, pewarna, dan bahan tambahan lainnya.

Bahkan, paradigma lama 4 sehat 5 sempurna yang menekankan konsumsi susu sebagai penyempurna menu makanan sehari-hari sudah tidak dianjurkan WHO dan Kementerian Kesehatan RI.

Baca juga: Ironi Program Susu Gratis, tapi 78 Persen Susu RI Masih Impor

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com