Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Kompensasi dan Dampak Kenaikan Harga Beras

Kompas.com - 15/02/2024, 15:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengalaman yang sama pada pemilu 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah pusat membekukan penyaluran dana bansos.

Sayangnya, pasar tradisional maupun ritel modern sudah terlanjur kekurangan persediaan, karena persediaan beras memang semakin menipis.

Mengatasi kelangkaan ini, Bulog memperkenankan ritel modern menyalurkan penjualan beras program Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) lebih dari 2 ton.

Supaya harga beras cepat melandai sehingga tidak memberatkan bagi sebagian rumah tangga yang tidak menerima kompensasi.

“Missing-Middle”

Rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen menengah, terutama yang masih tercakup dalam pekerja informal, terdampak langsung kenaikan harga beras tanpa perlindungan sosial yang memadai.

Sebagai gambaran, akhir 2023 dan awal 2024, bansos beras terdiri dari dua jenis, yakni Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan bantuan beras dampak El-Nino yang diteruskan dengan penyaluran Bantuan Pangan Beras kepada masyarakat miskin. Kedua jenis bantuan tersebut menyasar rumah tangga 40 persen terbawah.

Sebagai gambaran, BPNT menyasar keluarga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen ke bawah yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Sementara, Bulog menyalurkan bansos beras 10 kg setiap bulan kepada 22 juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat) menggunakan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) dari Kemenko PMK yang menyasar 40 persen terendah juga.

Sehingga, rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen menengah atau lebih dari 25 juta rumah tangga menengah yang merasakan kenaikan harga beras.

Padahal, kelas menengah Indonesia telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Pada publikasi Aspiring Indonesia: Expanding the Middle-Class yang dikeluarkan Bank Dunia tahun 2020 mengungkap konsumsi kelompok telah tumbuh sebesar 12 persen per tahun sejak tahun 2002 dan sekarang mewakili hampir setengah dari seluruh konsumsi rumah tangga.

Diperlukan inisiatif perlindungan sosial yang menjangkau 40 persen menengah yang selama ini luput dari bantalan.

Karena, instrumen perlinsos saat ini tidak relevan bagi mereka. Kelas menengah dengan status pekerjaan informal digambarkan sebagai "missing middle" karena tidak terlindungi dari inflasi.

Selama beberapa periode, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga 40 persen menengah nyaris selalu di bawah pertumbuhan garis kemiskinan. Tanpa inovasi perlindungan sosial di kelompok ini, inflasi telah menjadi pengganti pajak yang paling memberatkan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahunan komoditas harga bergejolak pada Januari 2024 sebesar 7,22 persen lebih tinggi dari pajak penghasilan sebesar 5 persen.

Parahnya, kelompok ini harus menanggung kenaikan harga beras 16,24 persen dalam setahun terakhir. Padahal beras memberikan andil tertinggi pada penghitungan garis kemiskinan (GK).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com