Angga mengatakan, sistem pangan Indonesia rentan terhadap beberapa hal selain El Nino, yakni pandemi, alih fungsi lahan, hingga petani meninggalkan sektor pertanian.
Lebih lanjut, ia menunjukkan data produksi dan harga beras internasional sejak 1961-2009.
El Nino terparah sempat terjadi pada 1997 yang berdampak pada harga beras internasional melonjak.
Menurut Angga, hal yang membuat petani di pedesaan kelimpungan saat itu bukan sepenuhnya karena krisis finansial, tetapi juga El Nino, lalu berdampak pada harga internasional dan inflasi.
"Masalahnya, bukan El Nino karena El Nino akan selalu ada, tetapi bahwa sistem produksi pertanian kita sangat rentan terhadap hal-hal seperti ini," ungkap Angga.
Bicara soal kerentanan petani, Angga memfokuskan pada petani kecil dengan lahan di bawah 0,5 hektar.
Itu sebabnya, sulit mengandalkan teknologi terbaru pada para petani ini karena dinilai sangat rentan.
Begitu terkena faktor yang disebutkan, bisa jadi petani mengalihfungsikan lahan dan tidak lagi menanam padi.
"Kerentanan itu sangat bergantung pada tiga hal, yaitu exposure, sensivity, dan adaptive capacity," ucap Angga.
Exposure yang dimaksud adalah seberapa parah El Nino dan dampaknya pada pertanian, sementara sensitivity berhubungan dengan lahan tanam yang tidak tahan dengan iklim ekstrem.
"Sementara ada kok daerah-daerah produksi padi yang mempunyai sistem iklim mikro lebih terbangun. Di Bali, misalnya, mereka punya tata air subak di mana petani bisa mengelola air secara kolektif," jelas Angga.
Sistem iklim mikro ini dapat membantu petani mengatur pola tanam dan beradaptasi baik dengan iklim ekstrem.
Baca juga: