INDONESIA tengah bergulat dengan ironi defisit beras. Tingginya harga beras akibat defisit telah memukul banyak lapisan masyarakat.
Negeri agraris yang sempat mendapatkan penghargaan internasional atas keberhasilan swasembada beras pada 2022, nyatanya harus menelan pil pahit kelangkaan.
Di tengah gelombang polemik beras, publik kembali mempertanyakan esensi program lumbung pangan atau yang dikenal dengan istilah food estate.
Program yang digadang-gadang menjadi benteng ketahanan pangan nasional, nyatanya masih bergeming dalam menangani isu-isu instabilitas harga dan ketersediaan pangan.
Dengan dalih peningkatan jumlah penduduk yang terjadi bersamaan dengan turunnya luas baku lahan pertanian di Indonesia, pemerintah menarasikan food estate sebagai proyek genting. Pembukaan kawasan hutan untuk mega proyek ini terus dilakukan secara masif.
Kegagalan demi kegagalan food estate yang terjadi sejak pertama digulirkan pada era 1990-an nyatanya belum kunjung menjadi refleksi para pemangku kepentingan.
Sebaliknya pembangunan food estate kian menggeliat. Terbaru, Kementerian Koordinator Perekonomian merilis masterplan baru terkait perluasan food estate ke wilayah potensial seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Sumatera Selatan.
Masifnya perluasan food estate seolah jadi simbol keputusasaan bahwa sistem pertanian di negara kita nampaknya masih belum efisien dan berproduktivitas tinggi.
Lantas, apakah memang hanya food estate yang bisa kita upayakan untuk memperkuat ketahanan pangan bangsa?
Menilik ilmu agronomi, food estate dapat dikategorikan sebagai sistem pertanian ekstensif. Sistem ini menerapkan praktik pertanian pada skala yang sangat luas dengan proyeksi hasil produksi lebih berlimpah.
Meski pertanian ekstensif populer dikembangkan di banyak negara seperti Australia, Rusia, dan Amerika Serikat, berbagai hasil riset menunjukkan sistem pertanian ekstensif kurang cocok diterapkan di Indonesia.
Penggarapan pertanian ekstensif di Indonesia masih minim adopsi teknologi yang memadai. Selain itu, sistem ekstensifikasi yang hanya menanam satu komoditas atau juga disebut monokultur sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit, apalagi dengan lanskap Indonesia yang merupakan negara tropis.
Produksi dan produktivitas yang diharapkan kerap tidak sebanding dengan sumber daya lahan, air, dan input lainnya yang telah dikeluarkan. Alhasil, mubazir sumber daya menjadi suatu keniscayaan.
Sejalan dengan hal tersebut, merujuk pada data terbaru Bank Dunia, luasan hutan mengalami penyusutan sangat dramatis, yaitu dari luasan 100 juta hektare pada tahun 2000 menjadi hanya 50 juta hektare pada tahun 2020.
Beberapa riset menunjukkan hilangnya kawasan hutan karena akibat konversi hutan ke lahan pertanian.