PADA 30 Maret 2022, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 menandai payung hukum dimulainya pemajakan atas aset kripto. Namun, dua tahun berjalan, menerapkan pajak kripto terbukti bukan perkara mudah.
Karakteristik utama industri aset kripto yang terdesentralisasi mendorong perkembangan yang begitu cepat.
Perselisihan hukum yang terus terjadi antara pelaku industri kripto dan Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC) di Amerika Serikat, menunjukkan masih banyak wilayah abu-abu yang perlu ditegaskan dalam hukum yang mengaturnya.
Kompleksitas ini menjadi tantangan dalam menerapkan pajak kripto secara efektif. Selain itu, pajak kripto juga tidak selalu menuai respons positif dari pelaku industri yang terdampak.
Pada Maret lalu, pelaku industri kripto dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) satu suara menyatakan agar pajak kripto kembali dievaluasi (Kompas.com, 3/3/2024).
Usulan ini karena tarif pajak kripto dinilai lebih tinggi dibanding di luar negeri sehingga mendorong investor lebih memilih menempatkan modalnya di bursa (exhange) kripto asing.
Dalam ketentuan pajak saat ini, transaksi aset kripto akan dipotong pajak sebanyak dua kali. Pertama, pada saat pembelian aset kripto, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan dipungut sebesar 0,11 persen dari nilai pembelian.
Kemudian, ketika menjual aset kripto, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Final akan dipotong sebesar 0,1 persen dari nilai penjual.
Kedua tarif tersebut menjadi dua kali lebih tinggi jika transaksi dilakukan melalui pialang (broker) yang tidak terdaftar di Bappebti.
Pajak ini dipungut tidak hanya atas transaksi jual-beli langsung aset kripto ke mata uang fiat. Transaksi tukar-menukar (swap) jenis aset kripto satu ke jenis lainnya, serta transfer aset kripto ke dompet digital (wallet) lain juga akan dikenai pajak dengan tarif yang sama dari nilai transaksinya.
Kebijakan pajak yang memosisikan status investor sebagai pembeli sekaligus penjual aset justru secara tidak langsung menimbulkan beban pajak ganda. Inilah poin penting pertama yang harus dievaluasi dari kebijakan pajak kripto.
Poin penting lainnya, berbeda dengan banyak negara lain yang mengenakan pajak hanya atas selisih keuntungan dari naiknya harga aset kripto, kebijakan saat ini memungut pajak secara langsung dari seluruh nilai aset kripto yang dibeli dan dijual. Akibatnya, investor tetap menanggung pajak meskipun mengalami kerugian.
Di sisi lain, dalam transaksi yang positif mengalami keuntungan, investor akan harus menunggu harga aset kripto naik setidaknya 0,21 persen hanya untuk mengompensasikan pajak yang dipotong. Jumlah ini belum termasuk biaya lainnya yang dikenakan oleh pialang.
Skema ini merugikan pelaku perdagangan aktif (trader) yang memperoleh keuntungan dari kenaikan harga yang kecil (scalping).
Sebagai ilustrasi, apabila pelaku perdagangan membeli aset kripto senilai Rp 100 juta dan memperoleh keuntungan senilai Rp 1 juta dari kenaikan harga sebesar 1 persen.