Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Bahaya Inflasi Vs Deflasi

Kompas.com - 18/04/2024, 07:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INFLASI terjadi saat tingkat harga secara terus menerus meningkat dengan cepat. Friedman mengatakan, inflasi selalu terjadi dan di mana saja sebagai fenomena moneter.

Menurutnya, naik dan turunnya pergerakan pada tingkat harga adalah fenomena keuangan.

Deflasi merupakan fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah. Deflasi terjadi karena kekurangan jumlah uang beredar yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun.

Antara inflasi dan deflasi mempunyai pengertian pada daya beli masyarakat yang naik maupun menurun.

Inflasi global terjadi saat ini lebih mengarah pada supply side. Faktor penyebabnya menurunnya kualitas iklim, ketegangan geopolitik yang tidak kunjung reda, serta pengetatan kebijakan moneter negara maju masih berlanjut, karena tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup.

Berbicara fenomena inflasi dan deflasi, keduanya memiliki jalur dan cerita ekonomi yang berbeda. Deflasi jauh lebih berisiko dibandingkan inflasi.

Jepang, misalnya, adalah negara maju, yang pernah menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, melaporkan kontraksi selama dua kuartal berturut-turut.

Deflasi telah menciptakan kesulitan sangat berkepanjangan bagi Jepang, yang mengalami krisis pasca-credit-boom besar-besaran pada 1990-an. Indeks Harga Konsumen Jepang kemudian turun selama lebih dari dua dekade.

Akibatnya, Jepang terus-menerus mengalami tingkat suku bunga riil positif, meskipun tingkat suku bunga resmi jangka pendek telah mendekati nol atau bahkan nol sejak pertengahan 1990-an.

Tingkat suku bunga jangka panjang telah berada di bawah 2 persen sejak tahun 1999 dan bahkan di bawah 1 persen sejak akhir 2011.

Inilah sebabnya mengapa langkah pertama Abenomics adalah mencapai target inflasi sebesar 2 persen yang disepakati antara pemerintah dan BoJ pada awal 2013.

Kesulitan besar mungkin timbul dalam lingkungan dengan inflasi yang rendah, dibandingkan dalam lingkungan deflasi jika tingkat suku bunga riil keseimbangan turun cukup rendah.

Dengan inflasi sebesar 2 persen, misalnya, tingkat suku bunga riil jangka pendek tidak boleh kurang dari minus 2 persen. Jika kita mengabaikan kemungkinan ekstrem terjadinya suku bunga nominal negatif (yang mungkin terjadi sampai titik tertentu, meskipun sulit untuk diterapkan).

Oleh karena itu, beberapa ekonom berargumen bahwa target inflasi sebesar 2 persen ternyata terlalu rendah pada saat krisis, sehingga dengan tingkat keseimbangan jangka pendek yang mungkin serendah minus 3 persen hingga minus 5 persen di negara-negara yang terkena dampak paling parah, inflasi akan meningkat.

Jika ingin berada pada tingkat keseimbangan, maka harus mendekati 4 persen pada waktu normal sehingga akan mencapai full employment.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com