Oleh: Muhrizal Sarwani dan Sumardjo Gatot Irianto*
INDONESIA berada di simpang jalan dalam sistem produksi pangan (padi). Indikasinya adalah anjloknya produksi padi 2019-2023.
Produksi padi nasional rata-rata turun 7 persen terhadap produksi tahun 2018. Bahkan pada Januari-Juli 2024, dari kerangka sampel area (KSA) BPS mencatat bahwa total produksi padi anjlok 2,47 juta ton atau turun 13,25 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2023 yang jumlahnya 18,64 juta ton.
Penyebab utamanya adalah badai gorilla El Nino. Pengurangan volume subsidi pupuk yang terjadi sejak 2019 juga berperan signifikan.
Selain produksi yang anjlok, kita juga temui di lapangan bahwa harga beras sudah naik drastis, pembelian beras dibatasi, pasokan beras premium sangat terbatas dan susah didapatkan saat hari raya besar keagamaan.
Kalau tidak ada terobosan signifikan, maka bukan tidak mungkin kita akan masuk ke dalam perangkap pangan (food trap).
Kondisi ini diperburuk lagi dengan mindset pengambil kebijakan yang ingin jalan pintas (short cut), demi kepentingan sesaat, meskipun harus mengorbankan masa depan pertanian Indonesia.
Petani dibungkam dengan impor beras yang berlebihan, sistem produksi pangan utamanya padi akan hancur.
Contoh riil adalah hancurnya sistem produksi kedelai, sehinga Indonesia praktis mengimpor hampir semua kebutuhan kedelai dalam negeri.
Kedelai impor yang dulunya diagung-agungkan mutunya bagus, ukurannya besar, warnanya kuning, harganya murah, sekarang terbukti sangat mahal mengikuti permainan produsen.
Celakanya, Indonesia yang awalnya pernah mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional lebih dari 90 persen, kini hanya sekitar 5 persen yang mampu disediakan oleh produksi dalam negeri.
Pemerintah Amerika menerapkan invisible dumping dengan memberikan kedelai ke pengrajin Indonesia tanpa membayar lebih dulu, melainkan bisa dibayar dalam tempo 1 tahun tanpa bunga.
Pendekatan ini dilakukan tidak hanya untuk komoditas kedelai, melainkan juga untuk komoditas lainnya seperti terigu.
Jika tidak ada langkah nyata dari pucuk pimpinan tertinggi, yaitu presiden, maka bencana pangan akan dialami Indonesia.
Prof Bustanul Arifin, Ketua Perhepi sekaligus peneliti senior INDEF, pada Senin (8/4/2023) menulis di Koran Media Indonesia mengusulkan pertanian organik sebagai salah satu cara meningkatkan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pertanyaan fundamentalnya adalah dapatkah pertanian organik meningkatkan produktivitas padi? Mungkinkah pertanian organik diimplementasikan dalam skala besar (jutaan hektare) dan memberikan surplus beras sehingga kita tidak perlu impor lagi?
Hasil riset yang dilakukan oleh Internasional Rice Research Institute (IRRI) di Filipina dan Balai Penelitian Padi di Sukamandi, Jawa Barat, digunakan sebagai rule of thumbs bahwa jika ingin hasil padi di atas 6 ton, maka pupuk N harus diberikan sebanyak 90 kg.
Pupuk N terkandung pada pupuk yang dikenal dengan nama pupuk Urea sebesar 46 persen. Pupuk N pada pupuk organik sekitar 2-5 persen N.
Pupuk Kandang (pukan) ayam mengandung 4,7 persen, sementara jerami padi sekitar 1-2 persen. Artinya jika kita ingin menggunakan pukan ayam, maka dibutuhkan 2 ton/ha.
Kalau itu sebagain besar dalam bentuk pupuk hijau (dari jerami atau rumput-rumputan), maka diperlukan 5 ton/ha, tapi kalau diberikan dengan urea granule setara dengan 200 kg.
Jadi, kendala pertanian organik, yang pertama adalah bulki. Bayangkan saja kalau luas lahan yang diusulkan oleh Prof Bustanul 4 juta ha, maka dibutuhkan 8 juta ton pukan atau 20 juta ton pupuk hijau.
Kita boleh bertanya dimana dan kemana kalau mau cari pupuk organik untuk program organik 4 juta ha tersebut?