Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti CIPS: Kebijakan Perdagangan Terbuka Kunci Pemulihan Ekonomi Indonesia  

Kompas.com - 10/11/2021, 14:37 WIB
Elsa Catriana,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Muda Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menilai, kebijakan perdagangan terbuka dan minim hambatan nontarif dibutuhkan untuk memulihkan perekonomian Indonesia. 

Untuk mendukung hal tersebut, dijelaskan dia, Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan nontarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.

Baca juga: Kemendag Fasilitasi Nota Kesepahaman Perdagangan senilai 5 Juta Dollar AS

“Wacana pembatasan impor perlu pertimbangan mendalam. Di satu sisi, pembatasan impor dilakukan terkait adanya kekhawatiran soal defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, rencana pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah. Salah satu dampak yang berpotensi terjadi akibat pembatasan impor adalah menurunnya kualitas produk Indonesia,” jelas Arumdriya dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021)

Arumdriya menuturkan, proteksi dan hambatan nontarif yang diterapkan dalam kebijakan perdagangan ini tercermin dalam peringkat Indonesia di International Trade Barrier Index yang diterbitkan Property Rights Alliance.

Indonesia berada di posisi 80 dari 90 negara pada International Trade Barrier Index 2021, tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Singapura yang berada di posisi pertama dan Malaysia serta Vietnam yang berada di posisi 53 dan 65.

Sementara itu, pada indeks serupa yang dikeluarkan pada 2019 lalu, Indonesia berada di posisi 72 dari 86 negara.

Penurunan peringkat ini mencerminkan adanya peningkatan pada hambatan perdagangan.

Baca juga: Bagaimana Aturan Perdagangan Mata Uang Kripto di Indonesia?

Kebijakan seperti ini, lanjut Arumdriya, tidak akan berdampak positif dalam jangka panjang karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk berbagai bahan baku.

Penerapan langkah-langkah non-tarif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kenaikan biaya produksi dan dengan demikian mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

Birokrasi yang berbelit dan memakan waktu, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor dan hambatan non tarif lainnya akan berdampak negatif pada investasi dan nilai ekspor dan pada gilirannya dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.

“Saat ini, banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Pembatasan terhadap impor yang berlebihan tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri. Belum lagi produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai,” kata Arumdriya.

Baca juga: Indonesia dan Meksiko Teken MoU untuk Perdagangan Kayu Manis

Arumdriya menambahkan, dalam kaitannya dengan ketahanan pangan, penerapan hambatan nontarif berdampak pada harga komoditas pokok, misalnya saja beras, yang akan mengurangi keterjangkauan dan memengaruhi asupan gizi dan kalori, terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com