BEBERAPA waktu belakangan ramai beredar pemberitaan di media yang mengeluhkan pembayaran pajak atas barang yang dikirim dari luar negeri.
Seperti dialami oleh Fatimah Zahratunnisa. Ia diminta membayar pajak sebesar Rp 4 juta atas piala yang dimenangkannya pada saat mengikuti perlombaan menyanyi di Jepang.
Kata-kata yang viral “Ya udah deh, kamu punya uang berapa sekarang, bisa bayar berapa?” menjadi hal yang sangat disorot oleh masyarakat. Publik memandang hal tersebut sebagai sikap tidak profesional atau bahkan penyalahgunaan wewenang dari petugas Bea Cukai.
Kasus tersebut juga membuat masyarakat menganggap pemerintah tidak memberikan dukungan terhadap prestasi anak negeri di kancah internasional.
Selain kejadian yang dialami oleh Fatimah, ramai juga pemberitaan mengenai Kris Antoni yang memenangkan kompetisi di Amerika Serikat.
Seperti Fatimah, Kris Antoni juga diminta membayar pajak untuk piala penghargaan yang diperolehnya pada event Flash Game Summit di Amerika Serikat pada 2013.
Merespons kasus Fatimah dan Kris Antoni, banyak netizen yang kemudian turut menghujat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kementerian Keuangan sebagai institusi yang penuh dengan mafia pajak.
Sebelum mengupas lebih jauh mengenai fenomena tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana peraturan mengenai pengiriman barang dari luar negeri ke Indonesia.
Secara prinsip, merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006), semua barang yang diimpor dari luar negeri terutang bea masuk.
Selain bea masuk, terdapat juga pajak lainnya yang perlu dipungut atas barang yang diimpor tersebut, yaitu PPN impor dan PPh pasal 22 impor. Ketentuan ini berlaku pula untuk barang kiriman (paket yang dikirimkan dari luar negeri ke Indonesia).
Secara spesifik, ketentuan atas barang kiriman impor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019.
Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa barang kiriman dari luar negeri, apabila nilainya melebihi 3 dollar AS, akan dikenakan pajak impor yang meliputi bea masuk 7,5 persen PPN 11 persen, tanpa melihat jenis barangnya.
Namun, terdapat pengecualian untuk tiga kategori barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi, yaitu tas, produk tekstil, dan alas kaki, di mana tarif pajak impornya mengacu pada tarif pajak impor yang berlaku secara umum (diatur dalam peraturan terpisah).
Terdapat pula barang yang dibebaskan dari pajak impor (dikenakan tarif 0 persen), yaitu barang berupa buku, majalah, dan barang semacamnya.
Kembali ke beberapa kasus viral di media sosial tersebut, yang bisa kita lihat dari dua sisi berbeda, yakni dari sisi masyarakat dan dari sisi pegawai Bea Cukai.