Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Sawah Rawa Pasang Surut

Kompas.com - 17/04/2023, 15:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ARTIKEL yang ditulis oleh Bapak Pramono Dwi Susetyo, seorang pemerhati masalah kehutanan di Kompas.com, 8 Maret 2023, berjudul Sistem Persawahan Kurang Prospektif di Kalimantan, meragukan tentang membangun sawah di Kalimantan.

Sebabnya, dalam artikel disebutkan bahwa “agroklimatologi” Kalimantan yang kurang mendukung dikembangkannya budidaya tanaman padi dengan sistem persawahan.

Istilah Agroklimatologi mengacu pada aspek iklim, di mana curah hujan di Kalimantan cukup bagus dengan rata-rata CH >1500mm dengan 8-9 bulan basah dan 3-4 bulan kering.

Saya yakin yang dimaksud adalah agroekosistem, karena kalimat selanjutnya terkait dengan jenis tanah, yaitu ‘podsolik merah kuning yang miskin hara dan mengandung asam yang tinggi’.

Saya sepakat dengan pendapat beliau bahwa tanah jenis ini tidak layak digunakan sebagai persawahan. Bahkan jika digunakan untuk tanaman padi akan sangat tidak ekonomis karena memerlukan agro-input yang besar.

Juga disebutkan bahwa Kalimantan didominasi oleh rawa gambut, sesuatu hal yang benar adanya. Lahan gambut berdasarkan perundangan-undangan harus dikonservasi dan dilarang untuk digunakan untuk kepentingan lain.

Hanya saja patut tidak dilupakan bahwa selain gambut, rawa juga dapat berupa lahan bergambut dan lahan aluvial (marin/sungai).

Dua jenis tanah yang terakhir ini berdasarkan studi dan pengalamanan yang telah dilakukan oleh UGM dan IPB melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) pada 1970-1980-an telah terbukti dapat dimanfaatkan untuk persawahan.

Pada masa itu, pencetakan sawah secara-besar-besaran di lahan rawa pasang surut Kalimantan dan Sumatera telah dilakukan. Suatu kerja yang fenomenal dan monumental, yang terinspirasi dari kearifan lokal masyarakat Banjar di Kalimantan dan masyarakat Bugis di Sumatera.

Kegiatan ini dilakukan melalui Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) dengan melibatkan perguruan tinggi di Jawa dan luar Jawa.

Pada wilayah Kalimantan, UGM merupakan leader untuk survei investigasi dan rancang bangun pengairannya dan bahkan juga dengan demo pengelolaan lahan untuk padi. Sementara IPB dan ITB menggarap wilayah Sumatera.

Targetnya pada saat itu adalah mencetak sawah 5,25 juta ha dalam kurun waktu 15 tahun.

Reklamasi rawa tidak hanya kita yang melakukannya. Belanda, Vietnam, dan Thailand juga melakukan reklamasi lahan rawa untuk pertanian mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Belanda sangat berpengalaman dalam pembukaan lahan rawa. Reklamasi lahan rawa di Belanda merupakan yang tertua di Eropa pascarenaisan.

Danau raksasa terkenal bernama Haarlemmermeer merupakan gabungan dari 4 danau dengan kedalaman 4 meter dengan lantai dasar berupa klei (lempung), meskipun sebagian berupa rawa gambut di sisi utara Sungai Rhine.

Banjir akibat meluapnya danau ini selalu menjadi hal yang menakutkan bagi masyarakat sekitar Haarlemmermeer.

Rencana reklamasi dimulai 1641 lalu menguat pada 1643 ketika Jan Adriaanszoon, seorang insinyur, mengusulkan untuk membuat tanggul dan mengeringkan danau. Upaya untuk membuat tanggul dan mengeringkan danau terus dilakukan hingga ratusan tahun karena masih menggunakan peralatan manual.

Ketika teknologi mesin uap mulai berkembang, tiga mesin pompa – terbesar sepanjang sejarah - dengan tenaga uap didesain untuk melakukan pengurasan danau.

Danau itu kering pada 1 Juli 1852. Seluruh area seluas 170,36 km persegi yang diambil dari perairan/danau dijual kepada masyakat membawa 9.400.000 gulden yang persis menutupi biaya pengurasan.

Perlu 210 tahun hanya untuk mengeringkan. Namun muncul masalah baru terkait pengelolaan lahan. Lahan menjadi sangat masam dan menimbulkan keracunan bagi tanaman dan bahkan kualitas air jadi buruk.

Hal yang disebabkan adanya kattekley (cat clay) - karena warna tanahnya yang seperti kotoran kucing - yang belakangan diketahui akibat oksidasi mineral yang terkandung di tanah rawa yang disebut pirit.

Banyak masyarakat petani yang mengalami kegagalan bertanam sehingga bencana kelaparan bahkan menyebabkan kematian ribuan orang di Harlemmermeer.

Dengan ketekunan para ahli pertanian Belanda, persoalan dapat diselesaikan sehingga kawasan Harlemmermer menjadi kawasan pertanian penghasil cuan bagi Belanda.

Delta Mekong di Vietnam punya cerita yang hampir serupa bagaimana pengembangan rawa dilakukan sehingga Vietnam menjadi penghasil dan eksportir beras utama di dunia.

Di bawah pemerintahan kolonial Perancis dan dengan diperkenalkannya tenaga uap, pengerukan Delta Mekong dimulai pada 1880-an.

Dari tahun 1890 hingga 1930, lebih dari 165 juta meter kubik tanah dikeruk dan total area yang ditanami naik empat kali lipat hingga lebih dari 2 juta hektar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com