Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tips Menghadapi Hubungan Kerja yang Tidak Sehat

Kompas.com - 09/07/2023, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: David Radihaposan H. & Dr. Rostiana, M.Si, Psikolog*

HUBUNGAN kerja adalah indikator penting untuk membuat karyawan tetap bertahan di suatu perusahaan. Hubungan kerja yang baik akan membuat karyawan lebih nyaman bekerja, produktif, dan berinovatif (Hodson dalam Hain, 2005).

Sebaliknya, hubungan kerja yang buruk menimbulkan banyak masalah, seperti stres, gangguan kesehatan mental, turunnya produktifitas, konflik berkepanjangan, reputasi perusahaan yang buruk, dan pada akhirnya penurunan kemajuan bisnis perusahaan (Hodson dalam Hain, 2005).

Hubungan kerja yang buruk dan mengganggu seringkali disebut sebagai toxic relationship dan menjadi alasan banyak karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Mayoritas orang setuju (termasuk saya), hubungan kerja yang buruk dan memengaruhi kesehatan mental haruslah dihindari. Namun, nyatanya tidak semua karyawan yang mengalami hubungan kerja toxic bisa langsung mengambil keputusan resign.

Bagaimana jika karyawan “terjebak” di hubungan kerja yang toxic? Seperti belum adanya peluang kerja lain di luar, faktor keluarga yang masih harus dinafkahi, ataupun faktor lain yang membuat karyawan belum bisa keluar dari pekerjaanya saat itu juga.

Faktanya, tidak ada satu perusahaan pun yang benar-benar bebas dari hubungan toxic. Hubungan toxic dapat muncul dalam berbagai arah, yaitu dari atasan atau dari sesama rekan kerja.

Hubungan toxic juga dapat muncul dalam berbagai bentuk dan setiap orang memiliki persepsi berbeda-beda terhadap hubungan toxic.

Misalkan, ada karyawan yang merasa rekan kerjanya toxic ketika mereka menggosip di belakang karyawan tersebut, tetapi ada juga karyawan yang tidak terlalu mempedulikan itu dan tetap produktif.

Contoh lain, ada karyawan yang merasa atasan diktator dan bossy adalah atasan yang toxic, namun ada karyawan yang cocok dengan atasan suka mengatur.

Pada dasarnya, ada beberapa perilaku di tempat kerja yang “kelihatannya” toxic, namun sebenarnya masih bisa kita hadapi dan tidak perlu mengorbankan karier kita dengan resign.

Sebagai catatan, jika perilaku toxic yang terjadi sudah melanggar hukum dan mengancam fisik seseorang seperti pelecehan seksual, maka karyawan harus segera melapor ataupun resign jika laporan tersebut tidak ditanggapi dengan serius.

Berikut adalah beberapa langkah yang bisa Anda lakukan jika ingin tetap bersinar walaupun hubungan kerja buruk:

Langkah pertama dan terutama sebelum melakukan langkah lain adalah mengenali dan menyadari pikiran Anda terlebih dahulu (Zeidner, Matthews, & Roberts, 2009).

Tidak dipungkiri, pikiran kita terkadang salah menilai suatu keadaan. Contohnya, kita melihat atasan tidak memberi pujian atas pencapaian kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com