JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia sedang berupaya mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 dengan berbagai upaya yang mulai dilakukan saat ini.
Namun upaya menuju net zero emission dinilai tidak akan mudah. Bahkan dinilai sebagai upaya pendakian yang menanjak.
“Bauran energi ini dapat menurunkan tingkat biaya listrik lebih dari 20 persen,” kata Presiden Wartsila Energy & Wakil Presiden Eksekutif Wartsila Energy EVP Warstsila Anders Lindberg saat Media Round Table Energi Transisi di ICE BSD Tangerang, seperti dikutip dari siaran pers, Kamis (16/11/2023).
Baca juga: Menperin Targetkan Nol Emisi Karbon di Sektor Industri 2050
Asia Tenggara kata dia, membutuhkan penggunaan kapasitas energi terbarukan sebesar 1.100 GW di seluruh Asia Tenggara dalam 30 tahun mendatang.
Ia mengatakan untuk mencapai itu diperlukan tambahan lebih dari 25 GW kapasitas tenaga surya dan angin setiap tahunnya hingga 2050.
Lindberg menilai energi terbarukan memiliki tantangan karena produksi energinya bersifat intermiten dan sangat bervariasi.
Oleh karena itu ia menilai energi tersebut perlu diimbangi dengan kapasitas yang fleksibel seperti mesin penyeimbang jaringan dan penyimpanan energi untuk memastikan daya yang stabil dan andal.
Baca juga: Perusahaan Sawit di Papua Laksanakan Upaya Nol Emisi Karbon
Wartsila mengaku sudah membuat model sistem ketenagalistrikan net zero di Indonesia, Vietnam, dan Filipina pada tahun lalu.
Ia mengatakan hasil pemodelan menunjukkan bahwa sistem tenaga listrik yang fleksibel dapat mendukung integrasi lebih banyak energi terbarukan.
Selain itu, bauran energi yang hemat biaya disebut dapat menurunkan tingkat biaya listrik sebesar lebih dari 20 persen.
Lindberg menilai listrik yang terjangkau dan berkelanjutan sangat penting bagi pertumbuhan perekonomian di Asia.
Baca juga: Ini Strategi Kementerian ESDM Dorong Transisi Energi, demi Capai Target Net Zero Emission 2060
Sementara Direktur Energy Business New Build Indonesia, Wartsila Energy Febron Siregar mengatakan, sistem ketenagalistrikan yang tidak fleksibel membatasi jumlah energi terbarukan yang dapat diintegrasikan.
Ia menilai hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan jaringan listrik, pemadaman listrik, pembatasan energi terbarukan, dan biaya sistem yang lebih tinggi.
Jika hal itu diprioritaskan dibandingkan energi terbarukan berbiaya rendah, ia manilai konsumen harus membayar harga listrik yang lebih tinggi.
Baca juga: Investor Asing Catat Net Buy Besar di Tengah Koreksi IHSG, Berikut Saham Paling Banyak Dibeli
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.