Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha: Industri Minuman Ringan Tumbuh 3,1 Persen, tetapi...

Kompas.com - 13/03/2024, 13:56 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) Triyono Prijosoesilo mengatakan, penjualan minuman ringan tumbuh 3,1 persen dari 2022 hingga 2023 alias secara tahunan (year on year).

Kendati demikian, ia mengatakan, pertumbuhan industri minuman ringan masih belum membaik lantaran hanya bergantung pada produk air minum dalam kemasan (AMDK). 

"Secara besarnya 2022-2023 ada pertumbuhan 3,1 persen kalau total, tapi penyumbang utama dari pertumbuhan itu hanya air minum dalam kemasan (AMDK), kalau kita keluarkan AMDK pertumbuhan industri minus 2,6 persen," kata Triyono dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (13/3/2024).

Baca juga: Dirjen Bea Cukai: Menkes Sangat Mendukung Cukai Minuman Berpemanis Diterapkan Tahun Ini

Ilustrasi minuman soda, minuman berkarbonasi. iStockphoto/Phira Phonruewiangphing Ilustrasi minuman soda, minuman berkarbonasi.

"Ini jadi tantangan karena secara industri belum sustainable, industri belum kuat masih bergantung pada satu kategori," sambungnya.

Triyono mengatakan, berdasarkan data CAGR (Compound Annual Growth Rate) dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri minuman ringan tidak mengalami pertumbuhan atau di angka 0 persen.

Ia mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, air mineral dalam kemasan menempati urutan teratas yang paling banyak dikonsumsi. Kemudian disusul mihuman teh dalam kemasan.

"Industri tidak ada pertumbuhan. Ini yang jadi masukan tantangan pelaku industri. Sementara per kategori masih minuman AMDK 60 sampai 70 persen, kedua ada teh, tetapi di masa pandemi Covid-19 keduanya juga tidak tumbuh," ujarnya.

Baca juga: Promo Makanan dan Minuman Saat Pemilu 2024, dari Kopi Kenangan, Hokben, hingga Bakmi GM

Triyono mengatakan, tantangan utama industri minuman ringan adalah kondisi geopolitik termasuk perang Rusia-Ukraina yang berimbas pada melonjaknya biaya logistik dan mengganggu rantai pasokan global.

Kemudian, kemarau panjang membuat penurunan produktivitas petani di berbagai negara sehingga harga bahan baku menjadi naik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com