Kolom Biz
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com untuk edukasi mengenai pertambangan di pulau kecil
S Witoro Soelarno
Pengamat Pertambangan dan Lingkungan Hidup

Penulis adalah pengamat pertambangan dan lingkungan hidup, berpengalaman 30 tahun di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, dan 15 tahun di industri pertambangan sebagai eksekutif maupun advisor.

Hikmah Putusan MK tentang Pertambangan di Pulau Kecil

Kompas.com - 04/04/2024, 10:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA Kamis lalu (21/3/2024), palu Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengetok putusan untuk menolak seluruh permohonan PT Gema Kreasi Perdana (GKP)—yang notabene Pemegang Izin Pertambangan tahap Operasi Produksi (IUP OP) Nikel di Pulau Wawonii—untuk menafsirkan makna dari Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 dan Pasal 35 huruf (k) UU 27/2007 terkait aktivitas pertambangan dalam Undang-Undang) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) yang dianggap merugikan PT GKP.

Hal tersebut cukup melegakan. Sebab, penolakan permohonan PT GKP oleh MK justru memberikan hikmah penting pada masa depan pertambangan di Indonesia, yakni semakin memperlihatkan bahwa kegiatan pertambangan di pulau kecil di negeri ini tidak dilarang, selama masih mematuhi peraturan untuk melindungi kelestarian fungsi lingkungan dan tidak merugikan masyarakat.

Apabila dicermati kembali data dan fakta pada persidangan tersebut, sangat diperlukan sebagai bahan introspeksi bagi pemerintah agar pengelolaan kekayaan anugerah Tuhan bisa dilakukan dengan lebih cermat, dan kekhawatiran masyarakat juga bisa dijawab.

Baca juga: Revitalisasi Pulau Kecil dan Pulau Kosong Nan Kaya Mineral

Proses perizinan yang harus taat azas, regulator yang menjalankan pembinaan pengawasan atas perizinan yang diterbitkannya, serta pemerintah yang tidak membiarkan pemegang izin resmi menghadapi sendiri berbagai gejolak sosial, di mana yang pada satu dekade terakhir, isu ini semakin dinamis.

Contohnya pada gugatan ini, luas Pulau Wawonii 715 kilometer persegi (km2) atau 71.500 hektare (ha), luas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Operasi Produksi PT GKP, yakni 850,9 ha.

Wilayah izin tersebut sebagian besar berada dalam kawasan hutan dan sudah mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 707,10 ha. Selain itu, ada wilayah proyek seluas 192,39 ha untuk kegiatan penunjang. Dengan begitu, luas tapak proyek tersebut adalah 1.043,29 ha atau hanya 1,46 persen dari luas pulau.

Namun, gaungnya di media massa seolah pulau tersebut akan tenggelam sebagai akibat penambangan PT GKP.

Namun demikian, pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap perlu menjadi perhatian. Bukan tidak mungkin akan muncul perizinan baru lainnya, sehingga perlu pengaturan berapa persentase total luas yang masih bisa diterbitkan perizinannya untuk pertambangan.

Jumlah izin pun juga perlu dibatasi, karena tidak mungkin diterbitkan izin, tetapi belum boleh beroperasi. Izin baru bisa terbit bila pemulihan melalui program pascatambang sudah dilaksanakan dengan baik.

Baca juga: Efek Bola Salju dari Dilematika Tambang di Pulau Wawonii

Melihat sejarah, tak dipungkiri memang ada pulau kecil yang rusak berat akibat penambangan. Hal ini akibat sistem pembinaan dan pengawasan yang tidak berjalan baik selama era otonomi daerah. Namun, melalui UU No. 3 Tahun 2020 yang mengembalikan sistem pembinaan pengawasan ke pusat seperti pada UU No. 11 Tahun 1967, diyakini pertambangan, termasuk pertambangan di pulau kecil akan tertata jauh lebih baik.

Bijak memahami masalah dan membaca media

Membaca putusan MK tanpa meneliti secara utuh pertimbangannya bisa menyebabkan kesalahan interpretasi.

Faktanya, para Majelis Hakim Konstitusi sepenuhnya mempertimbangkan dan menafsirkan dengan tegas, bahwa lampu hijau pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diberikan asalkan memenuhi seluruh persyaratan wajib tanpa terkecuali.

Para Hakim Konstitusi memahami betul semangat UU PWP3K ini adalah tentang keseimbangan perlindungan kelestarian alam dan juga pemanfaatan yang bijak bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sayangnya, narasi pemberitaan di berbagai media nampak ramai membingkai perlunya tindak lanjut putusan MK melalui pelarangan seluruh pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sekaligus mencabut semua perizinan tambang di wilayah tersebut.

Kekhawatiran adanya yurisprudensi yang disampaikan pada kesaksian di sidang MK pada Oktober 2023 mulai terlihat. Tuntutan ini tentunya termasuk pada pertambangan di pulau kecil peraih Proper Emas 2022 yang juga harus dicabut.

Hal itu juga bisa menimbulkan potensi masalah lain. Pengaturan kegiatan Minyak dan Gas (Migas) pada Pasal 35 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) adalah sama persis dengan pertambangan.

Artinya, industri Migas akan mengalami nasib yang sama, antara lain industri Migas di Kabupaten Natuna yang menjadi salah satu sumber penting pendapatan negara, termasuk cadangan gas bumi yang terbesar di dunia, harus direlakan hilang.

Potensi dampak berikutnya, bergesernya batas laut dan hilangnya teritori negara, serta semua potensi di bawahnya akan beralih ke negara lain. Apabila hal ini terjadi, siapakah sebenarnya yang diuntungkan?

Syukur Alhamdulillah putusan MK tersebut sangat melegakan dan kekhawatiran tersebut tidak akan terjadi. Pemerintah perlu segera membuat kebijakan pengamanan dalam pengelolaan semua kekayaan Negara, dan mencegah terjadinya kekhawatiran masyarakat terhadap pertambangan di pulau kecil.

Upaya lintas sektor dalam mengelola anugerah Tuhan

Upaya lintas sektor dalam mengelola pertambangan yang ada di bawah permukaan tanah dan dipastikan berbenturan dengan pengelolaan sumber daya alam lainnya memang sangat diperlukan.

Semangat tersebut yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 1976 tentang sinkronisasi tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi, dan pekerjaan umum.

Baca juga: Dilematika Pertambangan di Pulau Kecil

Dalam menata kembali kebijakan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, ada baiknya kita menelaah pendapat tiga Hakim Konstitusi yang berbeda (concurring opinion), yang menurut penulis penuh makna dalam menyikapi pemanfaatan anugerah Tuhan kepada negeri ini dengan bijaksana.

Mengutip tulisan dari risalah putusan MK dan tambahan tanggapan dari penulis, yaitu pada butir 11 halaman 717, di mana Hakim MK berpendapat bahwa pada zaman modern yang serba canggih sekarang ini tidaklah lagi relevan mempertentangkan mana yang harus diprioritaskan antara pembangunan atau ekologi.

Keduanya harus seimbang dan berjalan beriringan agar fungsi lingkungan harus tetap lestari. Tidak tepat juga apabila ada pihak yang memaksa untuk menghentikan pembangunan dengan alasan merusak lingkungan, karena kerusakan lingkungan dalam skala tertentu mungkin tidak dapat dihindari dalam proses awal kegiatan pembangunan, in case kegiatan pertambangan.

Namun, dengan perencanaan yang baik dan komitmen yang kuat pada kelestarian fungsi lingkungan, maka kegiatan pertambangan yang menerapkan prinsip keteknikan terbaik (good mining practices), masih dimungkinkan dilakukan di pulau kecil.

Kecanggihan teknologi juga semakin mempermudah manusia memahami dan memotret secara utuh potensi dari suatu wilayah, sekaligus melakukan mitigasi risiko. Bahkan dengan teknologi, bekas pertambangan dan/atau pemanfaatan sumber daya alam dapat di-recovery, direhabilitasi, dan direstorasi oleh pemegang izin pertambangan.

Sistem kebijakan juga sudah cukup menunjang, yakni dengan adanya persyaratan Amdal dan Rencana Pascatambang yang harus diselesaikan sebelum izin operasi produksi diterbitkan.

Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) tahunan yang mencakup antara lain pelaksanaan Amdal, reklamasi, pascatambang, termasuk program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM),

selalu dievaluasi pelaksanaannya oleh Inspektur Tambang (IT) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kemudian pada butir 12 halaman 719, Hakim Konstitusi juga menilai bahwa pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan pada green development, menjadi kunci untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama merupakan conditcio sine qua non (syarat mutlak) bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Majelis Hakim yakin bahwa dengan perencanaan yang matang, serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang luas dan pengawasan yang optimal, maka pembangunan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Indonesia dapat dicapai.

Konsultasi menjadi kunci penerimaan publik

Salah satu syarat penerbitan Izin Usaha Produksi Operasi Pertambangan (IUP-OP) adalah Amdal, yang proses penyusunannya harus melalui konsultasi publik.

Adapun seluruh aspirasi masyarakat diakomodasi dan dievaluasi oleh Komisi Amdal untuk masuk dalam dokumen. Maka, adanya dinamika penolakan setelah Amdal disetujui adalah kejanggalan dan perlu menjadi catatan evaluasi untuk introspeksi instansi penerbit dan pengawal pelaksanaan Amdal di negeri ini.

Mekanisme program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dahulu disebut dengan Community Development, juga sudah sangat lama berjalan sebelum adanya corporate social responsibility (CSR) yang diberlakukan melalui UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), dan PP No 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Program PPM harus dijalankan walaupun belum ada keuntungan berusaha seperti yang diatur dalam CSR.

Reformasi perencanaan teknis

Selain itu, proses perencanaan operasi produksi juga memerlukan evaluasi ulang. Pengelolaan Lingkungan harus diterjemahkan sebagai pengelolaan kegiatan pertambangan, agar berdampak minimal terhadap lingkungan dan masih mudah untuk dikendalikan.

Pulau kecil memang lebih rentan dibandingkan dengan pulau besar. Oleh karena itu, perencanaan pertambangan di pulau kecil harus berbeda dengan pulau besar.

Khusus bijih laterit yang sangat bervariatif karakteristik bijihnya di lapangan, misalnya Nikel.

Umumnya, bijih laterit memerlukan front penambangan relatif banyak karena perlu sistem pencampuran (blending) untuk menyesuaikan dengan kadar umpan smelter.

Pada pulau besar relatif lebih mudah pengelolaan pertambangannya dibandingkan dengan di pulau kecil.

Pada pulau kecil, penulis menyarankan sebaiknya dibatasi tiga hingga lima front aktif untuk pencampuran bijih yang akan disimpan di stockpile sesuai spesifikasi untuk smelter, atau disebut dengan Permanent Ore Storage (POS).

Apabila penyediaan POS tak dapat dilakukan, maka penimbunan dilakukan pada stockpile dengan karateristik relatif sama, yang disebut Temporary Ore Storage (TOS).

Jumlah TOS inipun tidak boleh terlalu banyak, misalnya ada tiga atau empat TOS yang bisa dicampur untuk disimpan di POS. Jumlah POS dan TOS akan disesuaikan dengan kemampuan mengelola air larian (surface run off) yang akan di lepas ke perairan umum yang harus sesuai dengan baku mutu.

Dengan pembatasan jumlah front aktif, maka proses reklamasi bisa lebih cepat. Kemudian, pembukaan daerah baru bisa dilakukan setelah dievaluasi reklamasi oleh Inspektur Tambang (IT).

IT yang tersebar di seluruh provinsi dengan jumlah sekitar 850 orang tersebut mempunyai tugas melakukan evaluasi pelaksanaan reklamasi yang merupakan bagian dari Rencana Kerja Anggara dan Biaya (RKAB) tahunan.

Membawa hikmah

Pada akhirnya, munculnya permohonan PT GKP membawa hikmah bagi reformasi kebijakan pengelolaan pertambangan, khususnya di pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 13.400 atau hampir 80 persen dari total pulau di Indonesia.

Inventarisasi mineral yang ada di negeri ini adalah kompilasi dari berbagai dokumen Studi Kelayakan (FS) perusahaan pertambangan tahap Operasi Produksi. Status sumber daya dan cadangan ditetapkan oleh para tenaga ahli kompeten atau yang dikenal dengan Competence Person Indonesia (CPI).

Bila dicermati, hampir semua perizinan pertambangan berada di pulau besar. Dengan demikian, data sumber daya mineral di pulau kecil, termasuk dasar laut, masih sangat terbatas.

Kebijakan pemerintah yang menghentikan ekspor bahan mentah menyebabkan banjirnya investasi smelter ke dalam negeri. Hal itu tentu menggembirakan karena peluang tenaga kerja semakin terbuka, sehingga berdampak positif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun yang mengkhawatirkan, jumlah cadangan bijih yang ada menjadi kritis. Para pakar memperkirakan, khusus nikel hanya bertahan hingga sekitar 10 tahun saja.

Oleh karenanya, untuk mencapai Indonesia maju 2045 yang mengandalkan mineral logam, bukankah sangat bergantung kepada sekitar 80 persen pulau di Indonesia yang saat ini masih sangat minim diketahui potensinya?.


Terkini Lainnya

Bukan Dibebaskan Bea Cukai, Denda Impor Sepatu Bola Rp 24,74 Juta Ditanggung DHL

Bukan Dibebaskan Bea Cukai, Denda Impor Sepatu Bola Rp 24,74 Juta Ditanggung DHL

Whats New
Kerja Sama dengan PBM Tangguh Samudera Jaya, Pelindo Optimalkan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok

Kerja Sama dengan PBM Tangguh Samudera Jaya, Pelindo Optimalkan Bongkar Muat di Pelabuhan Tanjung Priok

Whats New
DANA dan Jalin Sepakati Perluasan Interkoneksi Layanan Keuangan Digital

DANA dan Jalin Sepakati Perluasan Interkoneksi Layanan Keuangan Digital

Whats New
Kredit UMKM Bank DKI Tumbuh 39,18 pada Kuartal I-2024

Kredit UMKM Bank DKI Tumbuh 39,18 pada Kuartal I-2024

Whats New
Penyaluran Kredit Bank Mandiri Capai Rp 1.435 Triliun pada Kuartal I-2024

Penyaluran Kredit Bank Mandiri Capai Rp 1.435 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Imbas Boikot, KFC Malaysia Tutup Lebih dari 100 Gerai

Imbas Boikot, KFC Malaysia Tutup Lebih dari 100 Gerai

Whats New
Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Whats New
Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Smartpreneur
Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Whats New
Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Whats New
Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Bank Mandiri Raup Laba Bersih Rp 12,7 Triliun pada Kuartal I-2024

Bank Mandiri Raup Laba Bersih Rp 12,7 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Gelar RUPST, Astra Tetapkan Direksi dan Komisaris Baru

Gelar RUPST, Astra Tetapkan Direksi dan Komisaris Baru

Whats New
Emiten Sawit BWPT Catat Pertumbuhan Laba Bersih 364 Persen pada Kuartal I-2024

Emiten Sawit BWPT Catat Pertumbuhan Laba Bersih 364 Persen pada Kuartal I-2024

Whats New
Ekonom: Investasi Apple dan Microsoft Bisa Jadi Peluang RI Tingkatkan Partisipasi di Rantai Pasok Global

Ekonom: Investasi Apple dan Microsoft Bisa Jadi Peluang RI Tingkatkan Partisipasi di Rantai Pasok Global

Whats New
komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com