Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Yuk Kenalan dengan Pompom Saham, Aturan dan Risikonya

JAKARTA, KOMPAS.com – Belakangan ini banyak aksi influencer yang pamer saham melalui media sosial terkait dengan kepemilikan saham mereka.

Walaupun aksi tersebut tidak bermaksud untuk mendongkrak harga saham tertentu, tetapi dengan jumlah pengikut yang tinggi mampu membentuk opini publik, yang berpeluang mendorong aksi beli.

Pompom saham bisa diartikan sebagai orang yang memberikan info terkait dengan saham lewat media sosial.

Umumnya, pompomers (orang yang melakukan pompom saham) mengaku membeli saham tertentu, lalu sahamnya menghasilkan profit, dan kemudian mengajak orang lain juga membeli saham yang ia miliki.

Berdasarkan Undang-undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, disebutkan adanya larangan promosi emiten ke publik ini, merupakan bagian dari undang-undang untuk melindungi keperluan dan kepentingan investor.

Direktur Utama PT Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, aksi pompom saham ini tidak ubahnya dengan kenaikan saham Gamestop yang terjadi baru-baru ini.

Saham Gamestop berhasil meroket usai aksi sejumlah investor bergabung melawan serigala Wall Street, mendongkrak harga saham perusahaan video game setelah diproyeksikan tidak akan bertahan lama.

“Ini fenomena investor retail di tengah pasar yang sempat terguncang akibat pandemi. Tapi ini menyebabkan pasar di global dan berpengaruh ke pasar saham kita,” kata Hans dalam wawancara bersama IDX_Sumsel, Rabu (3/2/2021).

Adapun ciri-ciri pompom yang dilakukan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab adalah dengan memberikan kesan bagus untuk perusahaan tersebut.

Oknum tersebut secara tidak langsung membentuk opini publik agar bagaimana publik terbujuk membeli saham tertentu.

Oknum tersebut bisa saja berasal dari berbagai kalangan seperti oknum di perusahaan sekuritas, pemilik saham, manajemen perusahaan, influencer, sampai dengan grup Whatsapp.

Mereka memompa saham agar naik tinggi, padahal sebelumnya saham tersebut seringkali kurang likuid atau jarang diperjualbelikan.

Menurut Hans hal ini tidak lepas dari kenaikan jumlah investor retail di akhir tahun 2020 lalu.

Banyak orang yang menjalani work from home (WFH) menjadi memiliki hobi baru, yakni investasi di saham.

Apalagi valuasi saham saat pandemi cenderung turun, sehingga cukup menguntungkan saat kondisi ekonomi berangsur pulih seperti saat ini.

“Ini enggak lepas dari fenomena investor retail. Pasar itu bergerak naik cukup banyak dan menarik perhatian bayak orang. Jadi cerita ini enggk xuma di Indonesia saja, di luar negeri orang-orang yang WFH tentunya ada banyak waktu senggang dan banyak yang investasi saham, dan buka rekening efek,” kata Hans.

Hans mengatakan, saat WFH konsumsi rumah tangga berkurang menyebabkan ramai investor baru bermunculan.

Belum lagi, banyak toko tutup, waktu di rumah cukup banyak, sehingga kecenderungan untuk menggunakan cash dengan berinvestasi saham cukup menarik.

“Banyak orang memindahkan duit mereka ke pasar saham. Sehingga pasar saham jadi menarik. Ini mndorong influencer mulai masuk ke pasar dan dia memberikan pengaruh, kebetulan dia juga punya masa yang banyak, setelah ikut masuk ke saham, mereka mulai menyerukan orang lain untuk beli saham tertentu dan mulai pamer portofolio dia. Sehingga terjadi pergerakan pada saham tertentu,” jelas Hans.

Hans mengatakan, pompom saham tersebut layaknya memompa saham tertentu dan membuat sesuatu menjadi besar.

Hal ini juga ia nilai identik dengan orang-orang yang suka menggoreng saham.

Menurut dia, istilah menggoreng saham mengarah pada orang yang membuka rekening ke broker, kemudian mereka punya tim transaksi yang menyebabkan harga sahamnya naik.

“Kalau ini terjadi memang ada pelanggaran, tapi memang sulit di deteksi dengan membuktikan mereka ada kerja sama,” jelas dia.

Menurut Hans, di Indonesia aksi goreng menggoreng saham ini dilakukan dengan menggunakan berita.

Dengan adanya berita yang menunjukkan saham positif, maka bisa dikatakan tindakan penggorengan saham yang menyebabkan harga sahamnya naik.

“Ini fenomena baru lagi, di mana investor yang punya masa banyak mendorong pengikutnya untuk membeli satu saham tertentu sehingga saham itu bisa bergerak naik karena kekuatan dari pelaku pasar retail ini,” jelas dia.

Inilah mengapa pompom saham mirip dengan menggoreng saham.

Namun, Hans menilai apa yang selama ini dilakukan oleh influencer tidak selamanya buruk, ini tergantung niat dari influencer tersebut.

Belakangan ini, ramai sosial media kembali dihebohkan dengan pengikut pompom saham yang membeli saham tertentu.

Setelahnya, saham tersebut auto reject dan bahkan mengalami forced sell oleh sekuritas.

Hal ini tentunya menjadi perhatian, jual beli saham bukanlah hal yang main-main.

Jual beli saham harus dipikirkan masak-masak mengenai risikonya.

Penggunaan dananya pun seharusnya bukan menggunakan dana kebutuhan hidup, seperti biaya sekolah, utang, uang belanja dll.

Volatilitas di pasar modal adalah hal yang sangat umum terjadi.

Namun, ketika investor pemula kurang memahami hal tersebut, tentunya ini akan menimbulkan kepanikan dan berujung pada kerugian investor.

Disclaimer: Artikel ini dibuat dengan tujuan bukan untuk mengajak membeli atau menjual saham. Segala rekomendasi dan analisa saham berasal dari analis dari sekuritas yang bersangkutan, dan Kompas.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan atau kerugian yang timbul. Keputusan investasi ada di tangan Investor. Pelajari dengan teliti sebelum membeli/menjual saham.

https://money.kompas.com/read/2021/02/07/100724626/yuk-kenalan-dengan-pompom-saham-aturan-dan-risikonya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke