Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Merger Pelindo, Mungkinkah Jadi Sokoguru Ekosistem Logistik Nasional?

Contohnya frasa ekosistem logistik. Dapat dipastikan mereka yang membacanya akan memaknai sebagai keterkaitan komponen pergudangan, armada truk, pelabuhan, pelayaran dan lainnya dalam memberikan layanan logistik kepada mereka yang membutuhkan layanan dimaksud.

Di Indonesia ekosistem logistik, dikenal dengan nomenklatur Ekosistem Logistik Nasional atau ELN, muncul ke permukaan publik kini sekitar satu-dua tahun belakangan. Kini gaungnya makin kencang sejak diberlakukannya Inpres Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penataan Ekosistem Logistik Nasional pertengahan Juni 2020 yang lalu.

Sebelum ELN, sudah berjalan Indonesia National Single Window (INSW), dibesut sekitar 2008. Sebelumnya lagi, ada Electronic Data Interchange yang diluncurkan pada era 1990-an. Hingga hari ini kedua platform masih berjalan dengan baik.

Tidak jelas apakah ELN merupakan kelanjutan INSW maupun EDI, namun yang jelas kesemuanya memiliki keterkaitan yang sangat dalam dengan pelabuhan. Artinya, semuanya dibangun untuk memudahkan ekspor-impor melalui pelabuhan. Tidak berarti aktivitas tersebut tidak berlangsung di bandar udara. Hanya saja jumlah barang ekspor-impor yang dilayani di pelabuhan jauh lebih banyak dibanding melalui Bandar udara.

Wajarlah. Soalnya 90 persen lebih perdagangan dunia dilakukan melalui laut (seaborne trade) dan pelabuhan menjadi simpul yang terpisahkan dari perpindahan komoditas yang diangkut kapal.

Seperti yang sudah disampaikan oleh pengelola Ekosistem Logistik Nasional (ELN), dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, ELN bukanlah sebuah platform. Ia sebagai integrator dari berbagai platform yang ada milik instansi pemerintah maupun yang dioperasikan oleh swasta.

Terkait ini, pelabuhan-pelabuhan di bawah kelolaan BUMN pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo sebagai bagian dari ELN sudah mengembangkan berbagai platform untuk mempermudah dan memperlancar interaksi dengan pengguna jasa. Dalam bahasa lain, Pelindo sudah memiliki ekosistemnya.

Pertanyaannya sekarang, bisakah platform yang sudah dikembangkan oleh Pelindo menjadi sokoguru ekosistem logistik nasional?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita lihat dulu loophole yang ada dalam ekosistem logistik nasional.

ELN dinilai tidak atau belum dapat diintegrasikan ke dalam bisnis kemaritiman, dalam hal ini pelayaran, karena masing-masing pelaku usaha sudah memiliki platform digital sendiri.

Salah satu menu/item dalam ekosistem adalah bill of lading (B/L). Antara sistem Teknologi Informasi (TI) pelayaran asing dengan platform yang ada di Indonesia, terutama dengan sistem yang dikelola oleh pemerintah semisal Indonesia National Single Window, tidak bisa berkomunikasi. Kalaupun sudah terhubung belum sepenuhnya mulus.

Akhirnya tak terhindarkan B/L tetap dalam format aslinya berupa dokumen kertas. Inilah alasan mengapa bisnis pelayaran domestik masih belum sepenuhnya paperless.

Konosemen yang masih konvensional tadi mengakibatkan proses yang terkait dengannya, misalnya pembayaran-pembayaran biaya/tagihan, juga tidak sepenuhnya bisa digital.

Ditambah tidak semua kantor di pelabuhan, bank khususnya, yang beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Lengkaplah sudah kelambatan upaya go digital yang sudah digeber selama ini.

Operator pelayaran internasional (main line operator) memang memiliki platform TI masing-masing sebagai upaya memudahkan proses bisnis korporasi. Di samping itu, dengan digitalisasi yang mereka jalankan diharapkan muncul revenue stream baru yang bisa memperkuat struktur keuangan perusahaan yang makin tertekan akibat perubahan lingkungan strategis. Tetapi, belakangan ada inisiatif untuk membuat semua platform ini saling bicara antara satu dengan yang lainnya melalui Tradelens.

Tradelens adalah anjungan digital yang diinisiasi oleh IBM dan pelayaran Maersk di kota San Francisco, AS, pada Januari 2018. Sebagai inisiator, operator asal Denmark itu meniatkan kerja mereka untuk kemaslahatan bisnis pelayaran dunia. Ide perlunya platform itu selanjutnya dikembangkan lebih konkret oleh IBM dengan menggandeng GTD Solution Inc, sebuah perusahaan yang fokus dalam bidang digitalisasi sektor transportasi/logistik, anak usaha Maersk.

Niatan Maersk menjadikan Tradelens sebagai platform bersama bagi insan pelayaran disambut baik oleh raksasa pelayaran lainnya seperti CMA CGM (Perancis) dan Mediteranian Shipping Company/MSC (Swiss). Di lapangan, perusahaan-perusahaan ini sebetulnya berkompetisi ketat dalam sektor pelayaran peti kemas, khususnya antara Maersk dan MSC yang membentuk aliansi 2M dengan CMA CGM yang merupakan anggota Ocean Alliance.

Namun semangat untuk menjadikan bisnis pelayaran lebih trengginas membuat mereka mengenyampingkan kompetisi yang ada dan ikut terlibat dalam mengusung dan menyukseskan platform Tradelens.

Achievement-nya terbilang mengesankan. Saat ini sudah ratusan entitas bisnis terminal, perusahaan truk, pergudangan, dan lain sebagainya sudah bergabung ke dalam anjungan itu. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia.

Ada kabar bahwa dari Indonesia yang ikut andil dalam orkestrasi internasional terkait sistem logistik di atas adalah entitas/perusahaan swasta, termasuk BUMN. Rasanya keterlibatan ini sudah pas karena platform itu diinisiasi oleh swasta yang bersifat business-to-business.

Bahwa ada otoritas/regulator di dalamnya tidak mengurangi kenyataan bahwa pebisnis dan perusahaannya menjadi sokoguru ekosistem yang ada. Dari platform yang ada di kita, pemerintah adalah sokogurunya; mulai dari inisiasi, sosialisasi sampai hal teknis ke-TI-an di tangani oleh mereka.

Sebetulnya tidak masalah pemerintah berperan dominan cuma kelemahannya adalah belum tentu pemerintah bisa memotret semua proses bisnis yang berjalan ke dalam ekosistem. Belum lagi dari aspek hardware yang digunakan yang seringnya low atau medium grade.

Situasi inilah yang terjadi ketika Customs Excise Information System and Automation (CEISA), bermasalah beberapa waktu lalu. “Mainannya” Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut sebelumnya sudah beberapa mengalami masalah yang sama. Ada force majeure di sistem kata BC.

Bila nanti merger Pelindo dituntaskan di mana kapasitas perusahaan hasil merger membesar dua kali lipat – misalnya agregat throughput peti kemas akan mencapai 16,7 juta TEU – rasanya Pelindo hasil merger layak menjadi sokoguru ekosistem logistic nasional.

Mereka punya sumberdaya manusia yang baik, duit yang bisa membeli hardware dan software terbaik, dan yang paling penting, kelincahan sebagai entitas bisnis. Entahlah.

https://money.kompas.com/read/2021/08/10/131400926/merger-pelindo-mungkinkah-jadi-sokoguru-ekosistem-logistik-nasional

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke