Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Itu Hustle Culture? Kenali Ciri-cirinya

KOMPAS.com - Istilah husle culture adalah kerap didengar tanpa disadari ternyata kita juga menerapkan budaya negatif ini di kehidupan sehari-hari. Apa yang dimaksud hustle culture dan apa ciri-cirinya?

Dikutip dari laman Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidup untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.

Jika dilihat dari luar, budaya ini tampak seperti gerakan motivasi berenergi tinggi yang datang dengan imbalan yang diharapkan. Padahal hustle culture adalah perlahan tapi pasti akan mempengaruhi kesehatan dan mental pekerja.

Bagi kebanyakan orang, bekerja berjam-jam biasanya dikaitkan dengan naik jabatan lebih cepat, menghasilkan banyak uang dalam waktu sesingkat mungkin, atau mendapatkan penghasilan pasif karena kerja keras sepanjang waktu.

Tapi ini hanya bisa terjadi jika mengabdikan diri hanya untuk bekerja, kurang tidur, dan memotivasi diri sendiri untuk melewati rasa sakit terlepas dari semua kekuatan yang bekerja melawan keinginan itu.

Bekerja keras sangat disukai di hampir setiap tempat kerja. Tetapi praktik hustle culture ini berada di level lain. Hustle culture adalah pengorbanan diri tetapi juga delusi.

Pekerja yang menganut hustle culture seringkali tidak menyadari hal ini karena hustle culture telah tertanam dan menjadi hal yang biasa dilakukan sehari-hari. Berikut ciri-ciri hustle culture:

Berdasarkan survei yang dilakukan laman The Finery Report tentang hustle culture ditemukan 83,8 persen responden menganggap bekerja lembur sebagai hal yang normal. Sementara 69,6 persen mengaku bekerja secara rutin di akhir pekan dan 60,8 persen dari responden merasa bersalah jika tidak menambah jam kerja.

Untuk jam kerja per minggu, responden menjawab bisa menghabiskan rata-rata 100 jam kerja per minggunya, an segelintir bekerja antara 75-80 jam per minggu.

Padahal normalnya jam kerja penuh waktu adalah 40 jam per minggu. Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yaitu tujuh jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja.

Normalisasi hustle culture ini sangat menarik di dunia kerja karena nyatanya semakin banyak jam kerja tidak sama dengan produktivitas yang tinggi.

Sebuah studi oleh Pencavel tahun 2014 menemukan hubungan antara jam kerja dan produktivitas adalah nonlinier.

Artinya, jika jam kerja di bawah ambang batas 48 jam maka hasilnya sebanding dengan jam kerja tersebut. Tapi jika jam kerja di atas ambang batas maka hasilnya naik pada tingkat yang menurun seiring bertambahnya jam.

Makalah ini juga menyarankan alasan berbeda bagi perusahaan yang mengoptimalkan untuk peduli tentang lamanya jam kerja. Sebab, karyawan yang bekerja untuk waktu yang lama dapat mengalami kelelahan atau stres yang tidak hanya mengurangi produktivitasnya, tetapi juga meningkatkan kemungkinan kesalahan, kecelakaan, dan sakit yang dapat membebani perusahaan.

Mengapa hustle culture melanda dunia? Bisa jadi karena dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat memposting di media sosial tentang budaya bekerja.

Postingan bisa berupa kutipan motivasi untuk mengejar impian hingga postingan teman-teman yang memamerkan proyek bisnis dan usaha. Hal ini tanpa sadar membentuk hustle culture di masyarakat.

Sayangnya, konsekuensi nyata dari hustle culture ini adalah kesejahteraan mental dan fisik pekerja menjadi terbebani karena dituntut bekerja ekstra dan sedikit istirahat.

Meski hustle culture tidak sehat tapi bagi sebagian orang, menolak konsep hustle culture ini terasa seperti menentang hal baik. Bagaimanapun sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

https://money.kompas.com/read/2021/12/08/160537526/apa-itu-hustle-culture-kenali-ciri-cirinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke