Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyongsong Indonesia Jadi Negara Maju

Namun tahun 2075, formasi negara ekonomi besar dunia berubah. GSR memperkirakan Indonesia tetap diperingkat empat, tetapi India naik, menggeser AS dari peringkat dua.

Ramalan GSR dan banyak lembaga thinkthank dunia lainnya menempatkan Asia dan Pasifik menjadi kawasan “harapan masa depan”. Poros ekonomi yang bergeser dari Eropa ke Asia dan Pasifik mengubah formasi negara negara kekuatan ekonomi besar dunia.

Negara negara seperti Nigeria, Pakistan, Mesir, Brasil, dan Filipina diprediksikan masuk menjadi bagian dari 15 besar ekonomi dunia, sementara posisi Inggris, Jerman, dan Prancis diperkirakan melorot, meskipun tetap masuk 15 besar kekuatan ekonomi dunia.

Atas ramalan itu tentu Indonesia perlu menyambut optimis. Karena masih sebatas ramalan, tugas kita ke depan mewujudkan ramalan itu menjadi nyata.

Indoneseia telah memiliki visi jangka panjang untuk menjadi negara maju. Cetak biru Indonesia menuju negara maju, melalui tagline “Visi Indonesia Emas 2045” yang digulirkan Bappenas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Mei 2019. Visi Indonesia Emas 2045 menjadi peta jalan penting agar kita bisa mengukur milestone setiap kemajuan yang kita raih.

Untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 tidaklah seindah puisi. Visi itu memang didasarkan pada asumsi kecenderungan-kecenderungan besar (megatrend) dunia, serta modal sosial yang menjadi keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Visi ini juga mengalkulasi keseluruhan tantangan yang harus dilalui Indonesia untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

Tantangan krusial yang harus kita lampaui adalah kemampuan kita memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki sejak tahun 2012. Berdasarkan proyeksi, penduduk Indonesia 2015-2045 berbasis data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) oleh BPS tahun 2015, periode bonus demografi di Indonesia berlangsung 2012-2036.

Artinya tersisa waktu 13 tahun lagi bagi Indonesia mendapatkan bonus demografi, sebelum akhirnya kita menjadi bangsa yang “menua”, dengan rasio ketergantungan penduduk bisa jadi di atas 50 persen, yang artinya penduduk usia non-produktif semakin banyak.

Merujuk data BPS, tahun 2022 rasio ketergantungan penduduk mencapai 44,6 persen, dan proyeksi BPS pada tahun 2035 rasio ketergantungan penduduk mencapai 47,3 persen.

Oleh sebab itu, momentum sisa 13 tahun Indonesia mendapatkan bonus demografi harus mampu didayagunakan dengan maksimal, sebagai bekal mencapai Visi Indonesia Emas 2045 dengan PDB per kapita mencapai 23.199 dolar AS.

Tahun 2011, mengutip data Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia, saat akan memasuki periode bonus demografi, mencapai 2.990 dolar. Tahun 2022 lalu PDB per kapita Indonesia mencapai 4.783,9 dolar , atau naik 62,5 persen. Namun capaian ini masihlah terlalu jauh untuk mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.

Agenda Strategis

Modal bonus demografi saja tidak cukup untuk mencapai PDB per kapita 23.199 dolar. Bonus demografi hanyalah satu dari syarat obyektif kita menurunkan keindahan di langit menjadi nyata di bumi.

Tidak ada artinya kalau kita memiliki usia produktif, namun tidak memiliki keahlian dan ketrampilan, tidak memiliki daya inovasi yang produktif, tidak memiliki kekayaan talenta di banyak bidang, khususnya sains dan teknologi. Karena itu, kita harus indentifikasi “the most binding constrain” atas langkah kita menuju negara maju.

Mari kita berkaca pada Tiongkok. Pada tahun 1950-an mereka masih jauh di bawah Indonesia. Mereka masih menjadi negeri “tirai bambu” alias tertutup. Namun mereka belajar terhadap cara Soekarno membangun Indonesia, dengan mengirimkan orang-orang Indonesia belajar keluar negeri, belajar sains dan teknologi.

Di tangan Deng Xiaoping tahun 1978, Tiongkok membuka diri. Mereka menjalankan Open Door Policy. Mereka mengirimkan anak anak muda belajar ke luar negeri.

Selama 40 tahun, sejak 1978-2017, terhitung 5,2 juta pelajar Tiongkok menjalani pendidikan di luar negeri. Dari jumlah itu, sebanyak 3,1 juta pelajar atau sekitar 83,73 persen lulusan memutuskan kembali ke Tiongkok setelah menyelesaikan pendidikannya.

Berkat tenaga kerja terdidik dan etos kerja tinggi, di bawah kepemimpinan nasional yang kuat, rencana pembangunan tidak bengkok karena ganti pemimpin, serta jaminan iklim investasi yang baik, dan bebas korupsi, kini Tiongkok menjadi raksasa ekonomi dunia. Ekspansi produk-produk Tiongkok telah menjalar ke seluruh sudut Bumi.

Bagaimana Indonesia? Pekerjaan besar kita adalah memperbaiki sumber daya manusia yang berkualitas rendah. Angkatan kerja kita tahun 2022 sebanyak 143,7 juta, tetapi 54 persen di antaranya lulusan SMP ke bawah.

Padahal masa depan dunia dikendalikan oleh artificial intelligence (AI), kata futurolog, Alec Ross.

Dengan porsi didominasi angkatan kerja lulusan SMP, tentu tenaga kerja mudah bertekuk lutut, tereliminasi dari kebutuhan pasar. Paling banter pengais sisa ekonomi pada sektor informal.

Tidak ada pilihan lain, sisa masa bonus demografi 13 tahun ini harus diimbangi dengan memperbesar tenaga kerja terampil dan inovator. Merekalah yang akan mengubah wajah ekspor nasional, dari ekpor bahan mentah, menjadi barang konsumi dari hasil teknologi tinggi.

Semua ini akan terjadi jika pemimpin nasional memiliki political will yang kuat, kesetiaan yang tinggi atas komitmen pada Visi Indonesia Emas 2045.

https://money.kompas.com/read/2023/07/18/123631526/menyongsong-indonesia-jadi-negara-maju

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke