Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Literasi Keuangan Milenial dan Jerat Utang Digital

Merujuk data statistik fintech peer to peer lending (P2P), per Juni 2023, sebanyak Rp 19,62 triliun telah disalurkan oleh penyelenggara P2P. Angka tersebut tumbuh kisaran 5 persen secara tahunan.

Kondisi ini memang menyuratkan peningkatan inklusifitas, di mana masyarakat semakin dapat mengakses sumber pembiayaan.

Namun, ada dua hal yang patut disoroti, yakni peruntukan pinjaman dan angka pinjaman bermasalah.

Penyaluran P2P sebagian besar ke aktivitas konsumtif, mencapai 64,20 persen. Sementara data Mei 2021 masih mencapai 57,07 persen.

Selain itu, agresivitas penyaluran P2P juga tidak dibarengi dengan perbaikan kualitas pembiayaan. Angka tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90) yang merupakan indikator pinjaman bermasalah mencapai 3,29 persen per Juni 2023.

Meski masih dalam batas aman OJK, namun angka tersebut terus menanjak dibanding periode Juni 2022 yang berada pada angka 2,53 persen.

Lebih lagi bila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2021 yang hanya sebesar 1,54 persen. Artinya kenaikan potensi gagal bayar pinjaman melonjak lebih dari 100 persen selama dua tahun terakhir.

Kedua fenomena tersebut tampaknya bertalian. Semakin besarnya proporsi pembiayaan konsumtif tidak lepas dari semakin membudayanya belanja digital.

Berbagai kemudahan, kenyamanan, dan pilihan yang ditawarkan oleh platform belanja digital tentu membuat aktivitas belanja online semakin menjadi pilihan.

Namun, beberapa sisi negatif juga hadir, salah satunya motivasi hedonic yang kemudian berdampak pada perilaku impulsif.

Hal tersebut terkonfirmasi dari studi Indrawati dkk (2022) yang menemukan bahwa aktivitas belanja online sangat dipengaruhi perilaku impulsif yang didorong motivasi hedonic.

Lebih lagi, aktivitas belanja online semakin dipermudah dengan adanya pinjaman digital, baik P2P maupun skema paylater.

Dengan berbagai kemudahan berbelanja dan ketersediaan sumber pembayaran, tentu berpotensi mendorong perilaku konsumtif, terutama pada generasi milenial.

Hal tersebut juga dikonfirmasi dari proporsi pinjaman online yang sebagian besar memang dimanfaatkan oleh kaum milenial.

Saat ini, sebesar 57 persen proporsi pinjaman online tersalurkan ke kelompok umur 19-34 tahun, yang merupakan generasi milenial dan generasi X.

Kelompok umur tersebut juga menyumbang proporsi terbesar pinjaman bermasalah, dengan proporsi yang sama pada kisaran 57 persen.

Mereka memiliki kecenderungan berutang karena pada umumnya sudah mulai berpendapatan dan mungkin belum banyak menanggung beban.

Mereka akan dengan mudah berbelanja keperluan pribadi, memesan makanan/minuman, hingga kebutuhan pergaulan. Tanpa sadar, aktivitas konsumsi tersebut akan menjadi kebiasaan.

Bahkan oleh David Bach, diistilahkan sebagai latte factor yang merupakan pengeluaran-pengeluaran kecil sehari-hari, dilakukan secara rutin namun tidak terencana, yang dapat berdampak cukup besar pada kondisi keuangan masa depan.

Bila seseorang, terutama milenial sudah terkena latte factor, ditambah keinginan mengonsumsi dan memiliki barang tersier seperti plesiran dan gadget, maka ketika pendapatan tak lagi cukup, pinjaman P2P maupun paylater akan menjadi labuhan. Kaum milenial akan semakin berpotensi terjebak utang.

Literasi keuangan

Ketidakmampuan seseorang dalam mengelola keuangan hingga masalah terjerat utang, terkait dengan tingkat literasi keuangan yang dimiliki.

OJK mendefinisikan literasi keuangan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan.

Definisi tersebut tentu sangat relevan dengan fenomena besarnya proporsi generasi milenial yang berutang.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan berutang karena utang adalah meminjam pendapatan masa depan untuk dikonsumsi saat ini. Artinya, ada pengorbanan masa depan untuk manfaat yang diperoleh saat ini.

Literasi keuangan memegang peran penting dalam pengambilan keputusan keuangan, termasuk berutang.

Dengan literasi keuangan yang memadai, maka seseorang akan mampu mengambil keputusan yang bijak terkait kondisi keuangannya.

Dalam konteks literasi keuangan digital, hasil riset penulis tahun 2019 menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat literasi seorang milenial, maka akan semakin rasional pula pengambilan keputusan untuk berkonsumsi.

Bila seseorang bijak dalam berkonsumsi, maka kecil kemungkinan akan menggadaikan pendapatan masa depan dengan cara meminjam.

Kondisi literasi keuangan masyarakat Indonesia terus meningkat. Terakhir, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia tahun 2022 berada pada angka 49,68 persen yang meningkat signifikan dari kondisi tiga tahun sebelumnya sebesar 38,03 persen.

Meski demikian, bila melihat fakta bahwa terdapat potensi generasi milenial semakin terjebak utang, masih perlu upaya lebih untuk meningkatkan literasi keuangan.

Diperlukan kolaborasi berbagai pihak, baik regulator, pemerintah, industri, media, perguruan tinggi hingga tokoh masyarakat dalam membuat generasi milenial lebih melek dan bijak mengambil keputusan keuangan, menghindarkan mereka dari jebakan utang.

https://money.kompas.com/read/2023/08/12/100000826/literasi-keuangan-milenial-dan-jerat-utang-digital

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke