Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Insentif" Makroprudensial, Meredam Fenomena "Wait and See"

Sebelum Covid-19 melanda, IMF optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi global akan tumbuh 3,3 persen. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif 3,1 persen.

Bahkan, negara-negara maju mengalami pertumbuhan yang lebih buruk di mana pertumbuhan ekonomi tercatat tumbuh negatif 4,5 persen, sedangkan negara berkembang tumbuh negatif 2,1 persen.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal pandemi relatif lebih baik dibandingkan kondisi global. Tercatat Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 2,07 persen pada 2020. Lebih baik 0,03 persen dari kontraksi pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan 1,03 persen dari kondisi global.

Dari sisi produksi, kontraksi ekonomi terdalam terjadi pada Lapangan Usaha Transportasi dan Perdagangan Besar sebesar 15,04 persen.

Dari sisi pengeluaran, Komponen Ekspor Barang dan Jasa menjadi komponen dengan kontraksi ekonomi terdalam sebesar 7,70 persen.

Hal ini dirasa wajar dan telah terprediksi karena kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan pergerakan alias Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pada saat itu.

Lesunya perekonomian dan cepatnya penyebaran Covid-19 menjadi hal yang tidak diduga oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan pengusaha yang menjadi motor penggerak perekonomian. Pilihan sulit harus diambil antara kesehatan atau pendapatan perusahaan.

Di satu sisi, tidak sedikit perusahaan yang memiliki pinjaman di bank. Kalangan pengusaha harus memutar otak untuk membayar kewajibannya di tengah krisis yang melanda.

Tercatat dalam kondisi Covid-19, laju kredit bermasalah (nonperforming loan) perbankan meningkat tajam mencapai 3,06 persen pada Desember 2020.

Dengan kondisi ini, perbankan cenderung berhati-hati memberikan pembiayaan. Perbankan tentunya tidak ingin rasio NPL yang sudah cukup tinggi bertambah karena kondisi global yang belum sepenuhnya normal.

Momentum bangkitnya perekonomian

Setelah melalui tahun-tahun yang berat akibat krisis Covid-19, perlahan ekonomi Indonesia mulai bangkit.

Keputusan pemerintah mencabut PPKM dan pernyataan Presiden Joko Widodo (21/6) bahwa Indonesia telah beralih dari masa pandemi ke endemi, memberikan angin segar bagi geliat perekonomian domestik.

Diharapkan pada 2023 menjadi momentum kembali perkasanya perekonomian Indonesia.

Sinyal positif bangkitnya perekonomian ditunjukkan dengan bergerak positifnya indikator-indikator ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi semester I 2023 yang mencapai 5,11 persen (yoy). Inflasi Juni 2023 terkendali sebesar 3,5 persen (yoy).

Likuiditas perbankan longgar dengan Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tinggi sebesar 26,73 persen pada Juni 2023. Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan) rendah sebesar 2,53 persen (bruto) dan 0,77 persen (netto) pada Mei 2023.

Indikator ekonomi yang bergerak positif tidak sejalan dengan pertumbuhan kredit perbankan yang melambat.

Pertumbuhan kredit hingga Juni 2023 hanya mampu tumbuh sebesar 7,76 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya mencapai 9,39 persen (yoy).

Melambatnya pertumbuhan kredit dipengaruhi turunnya permintaan kredit dari dunia usaha. Saat pandemi Covid-19, perbankan cenderung berhati-hati memberikan pembiayaan melihat kondisi yang tidak kondusif.

Saat ini, ketika kondisi semakin membaik dan kebjakan perbankan cenderung longgar, justru dari demand pengusaha yang rendah untuk memiliki pinjaman kredit perbankan.

Bahkan, fenomena di lapangan, korporasi besar cenderung mempercepat pelunasan kredit dan berperilaku wait and see dalam melakukan investasi kedepan.

Kebijakan insentif Likuiditas Makroprudensial

Melihat kondisi ini, untuk menopang dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, Bank Indonesia (BI) mendorong perbankan untuk tetap agresif melakukan pembiayaan dengan mengeluarkan trigger kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM).

Kebijakan itu difokuskan pada sektor-sektor yang memiliki daya ungkit tinggi untuk pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja.

KLM yang diberikan berupa pelonggaran atas kewajiban pemenuhan giro Rupiah bank di BI yang diberikan kepada bank yang menyalurkan kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas, UMKM dan/atau memenuhi target RPIM, serta sektor hijau.

KLM yang diberikan BI saat ini adalah tahap keempat dari total pemberian insentif. Sebelumya, pada saat pandemi covid-19, BI pernah memberikan insentif serupa.

Namun, tujuannya pada saat itu adalah menyelamatkan sektor-sektor terdampak berat agar tetap bisa bertahan dan mendukung sektor yang kuat untuk dapat menopang pertumbuhan perekonomian.

Pada saat itu BI membagi tiga kelompok KLM menjadi (1) resilience, (2) growth driver, dan (3) slow starter.

Kali ini, insentif diberikan pada sektor yang diyakini memiliki daya ungkit tinggi, khususnya pada sektor hilirisasi (minerba, pertanian, pertenarkan, dan perikanan), perumahan, pariwisata, pembiayaan inklusif ultramikro, dan pembiayaan hijau.

Insentif yang diberikan total mencapai 400 basis poin dari sebelumnya 280 basis poin untuk penempatan giro wajib minimum (GWM).

Sebagai contoh ketika suatu perbankan berhasil memberikan kredit di sektor pertanian di atas threshold tujuh persen, maka bank berhak memperoleh insentif pengurangan GWM sebesar 60 basis poin.

Jika perbankan berhasil mendorong pertumbuhan kredit di atas ambang batas dari semua sektor yang ditentukan, maka total 400 basis poin insentif GWM dapat diterima.

Artinya semakin tinggi insentif yang diterima, maka likuiditas perbankan semakin longgar.

Dengan KLM ini, tambahan likuiditas perbankan diperkirakan akan mencapai Rp 50 triliun dan total menjadi Rp 158 triliun jika dikalkulasikan dengan insentif KLM tahap tiga. Artinya, perbankan dapat bersaing positif untuk memberikan kredit pembiayaan.

Dengan kebijakan KLM diharapkan target pertumbuhan kredit sebesar 9-11 persen tahun 2023 dapat tercapai.

Insentif dari sisi penawaran ini diharapkan memberikan efek domino terhadap sisi permintaan dan meyakinkan dunia usaha untuk meredam fenomena wait n see.

Pertumbuhan ekonomi kisaran 4,5 – 5,3 persen pun optimistis dapat tercapai dan tahun 2023 akan berhasil menjadi titik balik keperkasaaan perekonomian Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2023/08/16/113611826/insentif-makroprudensial-meredam-fenomena-wait-and-see

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke