Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menakar Inflasi Indonesia dan Menanti Sabda The Fed

Kita tahu bahwa setiap ada momen hari besar nasional terutama menjelang Ramadhan dan Lebaran setiap rumah tangga menigkatkan konsumsinya untuk menyambut kedatangan bulan yang penuh berkah ini.

Fakta mengenai menurunnya konsumsi masyarakat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri sejalan dengan data inflasi yang dirilis BPS akhir bulan ini.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Statistik Harga BPS, yaitu Dr. Whindiarso Putranto dalam rapat koordinasi dengan stake holder terkait dengan pengendalian inflasi daerah.

Berdasarkan historis perkembangan inflasi, selalu terjadi fenomena menarik pada Januari. Tingkat inflasi Januari relatif lebih rendah dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya (Desember 2023).

Disebutkan, inflasi Januari selalu dominan karena disebabkan inflasi komponen harga yang bergejolak, kecuali pada 2022 komponen inti tersebut menjadi dominan.

Secara nasional, jumlah kabupaten/kota yang mengalami Indeks Perkembangan Harga (IPH) turun sebesar 9 persen poin. Wilayah dengan persentase penurunan tersebar secara berturut-turut adalah Pulau Jawa, Pulau Sumatera, di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.

Terkait komoditas penyumbang utama IPH menurut wilayah, dari 15,38 persen kabupaten/kota di Sumatera yang mengalami kenaikan IPH, kenaikan tertinggi terjadi di Pulau Nias Utara dengan nilai IPH 4,29 persen.

Di Pulau Jawa, dari 13,48 persen kabupaten/kota di Pulau Jawa yang mengalami kenaikan IPH, kenaikan harga tertinggi terjadi di Sleman, Yogjakarta, dengan nilai IPH 2,81 persen.

Sementara di luar Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, dari 37,18 persen kabupaten/kota yang mengalami kenaikan IPH, kenaikan tertinggi terjadi di Muna Barat, Sulawesi Tenggara, dengan nilai IPH 6,90 persen.

Penyumbang utama IPH tersebut adalah komoditi bawang merah, bawang putih, ayam ras. Perkembangan harga bawang merah nasional sampai minggu ke dua Januari 2024 naik 16.04 persen dan bawang putih naik 4.86 persen.

Menanti sabda The Fed

Saat ini inflasi Amerika Serikat sedang menuju ke target The Fed sebesar 2 persen, karena harga komoditas mulai menurun dan ketegangan geopolitik tidak meningkat.

Bahaya kebijakan suku bunga The Fed telah berakhir. The Fed tidak lagi punya ruang untuk menaikkan suku bunganya, ini sungguh mengkhawatirkan.

Perlu disebutkan untuk memberi gambaran kepada masyarakat betapa berisikonya hal ini. The Fed juga telah memberi sinyal pemangkasan suku bunga atau Fed Funds Rate (FFR) sebanyak 3 kali pada 2024.

Ketika tekanan inflasi mulai meningkat pada 2022, Bank Sentral utama dunia menghadapi dilema. Mereka dapat dengan cepat memperketat kebijakan moneter dengan risiko memicu kesulitan keuangan.

Setelah bertahun-tahun menerapkan suku bunga yang sangat rendah dan terjadinya ekspansi neraca, yang berpotensi memperkuat dampak yang diharapkan dari langkah kebijakan tersebut terhadap perekonomian riil dan inflasi.

Mereka dapat mengambil pendekatan yang lebih bertahap untuk memerangi inflasi yang akan melindungi sistem keuangan, namun sangat berisiko menyebabkan inflasi yang tinggi semakin mengakar.

Meskipun ketidakstabilan keuangan yang parah mungkin merupakan kejadian yang tidak mungkin terjadi (atau merupakan risiko yang tidak terduga), hal ini dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi makro yang sangat buruk.

Oleh karena itu, untuk mengukur trade-off stabilitas keuangan memerlukan cara untuk mengukur interaksi tiga arah antara kebijakan moneter, kondisi stabilitas keuangan, dan risiko-risiko tambahan terhadap perekonomian.

Prospek jangka panjang telah diperhitungkan karena perekonomian Amerika Serikat sedang mengalami stagnasi sekuler, walaupun secara perlahan sudah mulai ada tanda-tanda pertumbuhan, tapi masih sangat dipengaruhi perkembangan geopolitik yang ada.

Langkah pengendalian inflasi

Pemerintah dan Bank Indonesia akan menempuh tujuh langkah strategis pengendalian inflasi 2024, yakni pertama, melaksanakan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dengan upaya mendukung pengendalian inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kedua, mengendalikan inflasi kelompok Volatile Food agar dapat terkendali di bawah 5 persen, dengan fokus pada komoditas beras, aneka cabai, dan aneka bawang.

Hal ini perlu dilakukan seiring dengan musim penghujan yang sedikit ekstrem tentu akan mengganggu stabilitas harga komoditas tersebut.

Ketiga, menjaga ketersediaan pasokan dan kelancaran distribusi pangan untuk memitigasi risiko jangka pendek, termasuk mengantisipasi pergeseran musim panen dan peningkatan permintaan menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

Keempat, memperkuat ketahanan pangan melalui upaya peningkatan produktivitas dan hilirisasi pangan.

Kelima, memperkuat ketersediaan data pasokan pangan untuk mendukung perumusan kebijakan pengendalian inflasi.

Keenam, tentu dalam penyelesaian stabilitas inflasi ini sangat memerlukan dukungan Pemerintah Daerah. Maka perlu memperkuat sinergi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP-TPID) antara lain melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP); dan ketujuh memperkuat komunikasi untuk menjaga ekspektasi inflasi.

https://money.kompas.com/read/2024/01/31/120716226/menakar-inflasi-indonesia-dan-menanti-sabda-the-fed

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke