Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada Perang Dagang, Kenapa China Tak Relokasi Industri ke RI?

Kompas.com - 26/11/2019, 16:02 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat perang dagang antara AS-China berkecamuk, para pengusaha  gencar merelokasi industrinya dari China ke wilayah-wilayah baru. Sayangnya, tak satu pun industri direlokasi ke RI.

Alih-alih ke Indonesia, China lebih banyak merelokasi industrinya ke negara lain. Vietnam mendapat 23 relokasi, 10 relokasi lainnya justru berlabuh ke Thailand dan Kamboja.

Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk Adrian Panggabean mengungkap alasannya. Pola relokasi yang dilakukan China sama seperti pola Jepang merelokasi industri saat berperang dagang dengan AS tahun 1989.

Saat itu, jepang merelokasi middle-end dan low-end industri ke negara-negara tetangga, seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia. Namun, high-end industri tetap berada di Jepang.

Baca juga: Garuda Sebut Tak Ada Kenaikan Harga Tiket Saat Natal dan Tahun Baru

"Nah akibat relokasi, Asia menjadi Japan value chain network. Japan value chain network ini menyebabkan pertumbuhan negara Asia didorong oleh Jepang dan pertumbuhan ekonomi Jepang saat itu kurang lebih 16 persen dari PDB global," kata Adrian Panggabean di Jakarta, Selasa (26/11/2019).

Sama seperti Jepang, China juga melakukan relokasi industri. Bedanya, hanya low-end industri yang disebar ke Asia. High-end industri tetap berpusat di China, di daerah Pantai Timur seperti Guangzhou dan Shanghai.

Meski dipindahkan ke Asia, hanya negara-negara tertentu saja yang mendapat relokasi China, seperti Thailand dan Vietnam. Pertimbangan China ini bukan tanpa alasan. Negara-negara tersebut merupakan subwilayah Mekong Raya atau Greater Mekong Subregion (GMS).


Seperti diketahui, GMS telah sepakat bekerjasama dalam segi ekonomi jauh sebelum perang dagang berkecamuk untuk meningkatkan konektifitas, daya saing, dan membangun rasa komunitas. GMS sendiri terdiri dari Provinsi Yunnan China, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam.

"Jadi jelas dia (China) akan cari negara dengan hubungan dekat. Negara yang masuk GMS itu sharing sebuah sungai namanya Mekong. Sejak (kerja sama) itu terjadi banyak kemajuan," ucap Adrian.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Stagnan di 5 Persen, Ini 3 Solusinya

Terlebih, kata Adrian, kerja sama antar negara yang tergabung dalam GMS kerap menunjukkan perbaikan ekonomi ketimbang inisiatif kerja sama regional lainnya seperti IMT, Sijori, dan sebagainya.

"Sehingga jelas dari 33 perusahaan, RI enggak dapat relokasi. Kenapa? Karena lari ke GMS semua. Lebih mudah bagi China untuk relokasi ke GMS, dibanding negara lainnya. Karena enggak melempem, sementara lewat IMT, Sijori macet semua," pungkasnya.

Akibatnya, relokasi tersebut juga bakal menimbulkan efek integrasi vertikal, yakni Asia akan semakin bergantung pada China dibanding sebaliknya.

"Implikasinya juga besar buat kita (RI). Flow dari FDI ke Asia akan lari juga ke wilayah Mekong, bukan negara lainnya," tandas Adrian.

Baca juga: Ekonomi Loyo pada 2020, Ini Sektor yang Dinilai Bisa Bertahan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com