Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Inovasi Demokrasi Reputasional untuk Koperasi

Kompas.com - 06/04/2020, 14:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI BULAN Januari sampai Juli biasanya koperasi bergilir selenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT). RAT bisa dihadiri seluruh atau perwakilan anggota. Tahun ini banyak RAT ditunda sebab wabah corona.

Rapat Anggota itu forum tertinggi di koperasi di mana kebijakan dan keputusan strategis diambil. Di PT atau perseroan namanya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Nah Rapat Anggota koperasi fungsinya sama seperti itu.

Salah satu beda koperasi dengan perseroan terletak pada mekanisme pengambilan keputusannya.

Di koperasi berlaku postulat satu orang, satu suara. Berbeda dengan perseroan yang menggariskan satu saham, satu suara. Koperasi menghitung orang, perseroan menghitung modal.

Postulat di atas berlaku universal dan diturunkan dalam undang-undang di tiap negara. Misalnya di Indonesia pada Pasal 24 UU. 25/ 1992 tentang Perkoperasian yang mengatur tentang pengambilan keputusan.

Ayat pertama mengatakan keputusan Rapat Anggota diambil melalui musyawarah mufakat. Bila tidak tercapai, kata ayat berikutnya, digunakan pemungutan suara berdasar suara terbanyak. Dalam hal itu satu anggota memiliki satu hak suara.

Logika satu orang satu suara pada koperasi itu terjadi di berbagai negara. Meski demikian ada yang menggunakan pola berbeda, seperti model proporsional dan model pembobotan.

Di Amerika, 93 persen koperasi di sana menggunakan model satu orang satu suara (Reynolds, 2000). Sisanya menggunakan model proporsional dan lainnya.

Saya ingin menggoda nalar Anda dengan isu ini. Pertama mudah dipahami bila perseroan menganut prinsip satu saham satu suara. Di mana pemilik saham terbesar, memiliki suara terbesar. Kita bisa memahami hal itu dengan mudah sebab saham pada esensinya adalah modal.

 

Baca juga: Indonesia-Belanda Sepakat Lakukan Kerjasama Perkuat Koperasi Pertanian

Makin banyak modal yang ditanam, makin besar resiko yang ditanggung. Wajar bila pemilik saham terbesar, memiliki suara terbesar sebab menanggung resiko terbesar juga. Logika itu saya sederhanakan dalam bentuk notasi, begini jadinya: Vote (V) = Share (S) = Risk (R).

Lalu bagaimana dengan koperasi, mengapa satu orang harus memiliki satu suara? Secara filosofis karena koperasi menyamakan kedudukan orang tanpa melihat status sosial-ekonominya. Sehingga baik si miskin atau kaya, sama haknya. Kita bisa menerima jawaban itu pada level abstraksi, bahwa ini soal prinsip egalitarianisme di koperasi.

Bila kita operasionalkan, di mana orang tersebut berperan sebagai anggota, apakah prinsip satu orang satu suara mencukupi seperti laiknya voting di Pemilu? Bukankah koperasi juga entitas bisnis? Apakah harus seperti itu? Bolehkah menggunakan model lain?

Pengambilan keputusan

John Stuart Mill, seorang filsuf, mengatakan bahwa siapa yang berkedudukan dalam mengambil keputusan haruslah kompeten. Kadang masalahnya memang tidak semua orang kompeten mengambil keputusan.

Di koperasi ada kasus menarik seputar pengambilan keputusan yang dialami Fagor, Mondragon. “They could be qualified engineers but they did not master the strategic matters …” (Errasti et al, 2017). Mereka yang dimaksud adalah anggota yang jumlahnya banyak itu. Sebab tak kompeten, Fagor jatuh.

Untuk membuat orang kompeten caranya informasi dibuka seluas mungkin. Asimetri informasi diminimalisasi. Dengan model demokrasi mufakat (deliberatif), suatu masalah dapat dibahas dan diputuskan bersama. Itu sebab pengambilan keputusan di koperasi mengutamakan musyawarah mufakat.

Namun bila tak tercapai, pemungutan suara harus digunakan. Meski begitu, itu belum menjawab siapa atau anggota seperti apa yang kompeten untuk mengambil keputusan strategis, bukan?

Belum lagi bila kita masukkan soal free-rider problem di koperasi yang banyak terjadi (Nilsson, 2001). Bentuk dari free-rider ini seperti anggota yang tak melakukan partisipasi secara maksimal namun tetap menikmati manfaat.

Tentu saja hal itu tidak adil bagi anggota yang lain. Demokrasi mufakat bisa saja dibajak oleh free-rider yang misalnya lebih cakap mempersuasi di Rapat Anggota. Dan bila dilakukan voting, mereka memiliki hak yang sama seperti anggota loyal lainnya.

Apa yang saya kehendaki adalah sebuah kriteria yang adil bagi seluruh anggota untuk terlibat mengambil keputusan. Kriteria tersebut harus obyektif, tidak diskriminatif, yang mana dalam kondisi normal semua anggota bisa mencapainya. Akan lebih baik bila kriteria tersebut bisa dikuantifikasi sehingga mudah dalam mengklasifikasikannya.

Sampai kemudian saya berpikir apa yang esensial dari anggota adalah partisipasi atau reputasinya selama menjadi anggota koperasi. Menurut saya itu bisa menjadi kriteria yang obyektif bagi semua orang.

Demokrasi reputasional

Model ini saya sebut sebagai demokrasi reputasional. Yakni mekanisme demokrasi di koperasi yang dijalankan berbasis reputasi anggota. Saya yakin setiap anggota memiliki reputasi berbeda dalam berkoperasi.

Reputasi anggota ini bisa diambil dari aktivitas atau partisipasi yang dia lakukan seperti: 1). Partisipasi modal; 2). Partisipasi transaksi; 3). Frekuensi pertemuan; 4). Durasi keanggotaan; 5). Kapasitas produksi dan variabel lainnya. Masing-masing koperasi dapat menentukan kriteria apa yang sesuai dengan kebutuhan lapangan.

Baca juga: Omnibus Law, Menkop: Koperasi Hanya Registrasi Nomor Induk Berusaha

Anggota secara umum dapat digolongkan menjadi dua: Reputasi Baik dan Reputasi Buruk. Kita bisa menetapkan ambang batas minimal (threshold) untuk menetapkan dua kriteria tersebut.

Bila partisipasi modal anggota selama setahun sebesar minimal sekian juta rupiah, maka baik. Bila di bawah itu, buruk. Bila partisipasi transaksi selama satu tahun mencapai ambang batas, baik. Bila tidak, buruk. Sebab kepentingan atau kebutuhan yang berbeda-beda, antara satu dengan yang lain, maka kita bisa membuat ambang batas rata-rata dari total seluruh kriteria.

Agar mudah saya akan gunakan notasi, seperti ini. Reputation (R) = ∑ E (equity) + T (transaction) + F (frequency) + D (duration) + C (Capacity) + n (variabel lain).

Di lapangan bisa dijumpai ada anggota yang besar di E, kurang di T dan F nya. Namun juga ada yang besar di T, kurang di E dan D nya. Dengan membuat rerata minimum ambang batas, maka perbedaan motif, minat dan kebutuhan anggota bisa diakomodasi.

Demokrasi reputasional bekerja dalam dua tahap. Pertama dengan menggolongkan atau menyaring anggota mana saja yang bereputasi baik dan mana yang buruk. Anggota yang reputasinya baik, merekalah yang berhak mengikuti Rapat Anggota. Sedangkan yang buruk, yang mana partisipasinya di bawah ambang batas, tidak berhak. Reputasi ini seperti tiket masuk bagi anggota ke Rapat Anggota.

Anggota dengan Reputasi Baik ini yang bisa kita anggap orang yang berkompeten ikut mengambil keputusan. Sebabnya karena mereka mengakses dan mengalami secara intensif layanan koperasi. Sekurang-kurangnya, mereka adalah pelanggan yang pantas memberikan umpan balik (feedback) terhadap layanan koperasi.

Tahap kedua bekerja ketika pemungutan suara harus dilakukan. Apa yang ingin saya tawarkan adalah demokrasi yang memberikan bobot berbeda satu dengan anggota yang lain.

Suara anggota yang lebih rajin, aktif dan bereputasik baik, harus memiliki bobot lebih besar daripada yang sedang saja. Menurut saya itulah yang namanya keadilan bagi para pihak. Sebab, reputasi tersebut toh sesuatu yang bisa diupayakan dalam rentang satu tahun lamanya.

Misalnya si A transaksi dalam satu tahun senilai empat juta rupiah. Lalu si B hanya satu juta rupiah. Harusnya memiliki bobot suara yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Sebab si A, dengan berbagai upayanya telah menunjukkan loyalitas yang tinggi. Si D yang rajin meminjam dan si E yang rajin menabung harus diberikan bobot yang adil bagi keduanya. Dan seterusnya.

Apa yang saya tawarkan bukan lagi sekenario konvensional satu orang satu suara. Sebab variabel orang saja tidak mampu membaca kualitasnya selama menjadi anggota koperasi.

Demokrasi reputasional yang saya maksud adalah sintesa dari jumlah orang (kuantitatif) dan reputasi tiap orang (kualitatif). Misalnya di Friesland Campina di mana jumlah suara dihubungkan dengan kapasitas produksi susunya (Birchall, 2017).

Rumus pembototannya bisa seperti ini: V (vote) = Rx (reputation member) / ∑ Rn (reputation of all member) x 100%, hasilnya adalah bobot suara setiap anggota dalam persentase yang berbeda satu dengan lainnya.

Ilustrasinya si A memiliki 5 persen suara, si B 1 persen, si C 0,5 persen dan si D 1 persen. Pada koperasi yang jumlah anggotanya banyak, maka persentase itu akan terbagi proporsional ke masing-masing anggota sesuai dengan reputasinya selama satu tahun. Dan bobot suara masing-masing anggota tiap tahunnya bisa berubah.

Saat pemungutan suara dilakukan, maka anggota yang bereputasi sangat baik tentu saja memiliki bobot suara lebih besar daripada yang hanya cukup baik. Menurut saya di situlah privilege menjadi anggota koperasi tumbuh. Berbeda dengan praktik konvensional yang melahirkan—apa yang saya sebut dengan—inflasi demokrasi, di mana semua anggota memiliki hak yang sama tanpa melihat partisipasinya.

Karena inflatif, jadilah tak lagi sakral. Anggota tak memiliki kebanggaan yang cukup saat hadiri Rapat Anggota, selain ajang bagi-bagi hadiah atau doorprize semata. Itu seperti demokrasi yang diobral, yang diberikan sekali waktu saat yang bersangkutan tercatat sebagai anggota. Dan tak ada upaya khusus agar bagaimana hak suaranya bisa lebih berkualitas, naik atau turun.

Bisnis dan demokrasi

Inovasi model demokrasi reputasional seperti di atas menurut saya lebih relevan digunakan koperasi yang juga adalah entitas bisnis. Demokrasi langsung satu orang satu suara terbukti tak bisa menjawab masalah free-rider dan isu kompetensi pengambilan keputusan. Demokrasi langsung bahkan bisa melahirkan diktator mayoritas.

Sebaliknya, demokrasi mufakat, bisa dibajak oleh elit-elit organisasi yang memiliki informasi yang cukup atas suatu masalah. Pada gilirannya bisa lahirkan tirani minoritas, atau yang disebut Euricse, salah satu lembaga kajian koperasi di dunia sebagai groupthink problem (Stefancic, 2017).

Baca juga: Kemenkop UKM Selidiki Kasus Gagal Bayar Koperasi Tinara di Banyuwangi

Demokrasi reputasional bekerja dalam dua tegangan kreatif itu. Bagaimana menjawab tantangan partisipasi seluas mungkin anggota dan di sisi lain, bagaimana yang berkumpul adalah anggota yang kompeten. Sehingga di masa depan akan terjadi suatu koperasi beranggotakan 5000 orang. Namun hanya 3000 orang yang bereputasi baik. Mereka lah yang pantas hadir di Rapat Anggota, baik secara langsung maupun perwakilan.

Bila perwakilan, sebutlah 100 delegasi, maka masing-masing delegasi akan mewakili persentase suara yang berbeda dari basis kelompoknya masing-masing.

Apa yang paling menarik dari model demokrasi reputasional ini adalah kemampuannya memadukan antara sisi bisnis dan sisi demokratis koperasi. Dengan model seperti ini, anggota terdorong untuk melakukan partisipasi minimum agar bisa ikut Rapat Anggota. Dan partisipasi optimum sehingga mampu mempengaruhi keputusan sesuai dengan kepentingannya.

Dalam konteks seperti itu, model ini memberikan insentif immaterial yang lebih bagus daripada model konvensional.

Agar masyarakat dapat menyoba model seperti itu dengan nyaman, Pemerintah perlu meregulasinya. Cukup misalnya diatur lebih lanjut tentang Pasal 24 di mana mekanismenya ditentukan masing-masing ke koperasi. Menurut saya Peraturan Menteri Koperasi cukup untuk meregulasi hal seperti itu.

Jadi bila perseroan memiliki logika Vote (V) = Share (S) = Risk (R), maka koperasi logikanya adalah Vote (V) = People (P) = Reputation (R). Sebab di situlah hakikat manusia, seperti kata pepatah kuno, “Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan reputasi”. Mari berinovasi!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com