Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Bangsa Tanpa Pengetahuan Sejarah Akan Jadi Bangsa "Tweede Hands"

Kompas.com - 26/09/2020, 15:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Peter Carey, seorang penulis, dosen dan sejarawan beken menurunkan tulisan tentang sejarah berjudul “Apa Akibatnya Jika Mapel Sejarah Dihapus dari Kurikulum Nasional?”

Tulisan ini, kalau meminjam istilah atau terminologi anak anak jaman now, disebut sebagai tulisan yang “keren banget”.

Dalam tulisan itu, antara lain Peter Carey berkisah tentang sebuah catatan sejarah, bahwa betapa Sutan Sjahrir, berhasil menceritakan tentang sejarah Indonesia sebagai bangsa di forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 14 Agustus 1947.

Pidato yang membuat sejarah bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang dapat mempertahankan kemerdekaannya di forum internasional.

Baca juga: Menilik Besaran Anggaran Pendidikan di 2 Periode Jokowi

 

Pidato bersejarah dari Sutan Sjahrir juga bisa dilihat sebagai inisiatif diplomatik yang paling menentukan pada zaman Revolusi Indonesia (1945-1949).

Tweede hands

Intinya tulisan Peter Carey menuangkan tentang betapa pentingnya posisi pelajaran sejarah dalam Kurikulum Nasional, dengan penekanan: “Apabila orang Indonesia tidak tahu-menahu sejarah sendiri, mereka akan menjadi bangsa “tweede hands”- sebagai bangsa “tangan kedua”. (Tirto.id – 22 September 2020)

Dalam bahasa Belanda tweede hands sering di gunakan untuk padanan kata “barang bekas” atau “bekas pakai”.

Polemik tentang mata pelajaran sejarah yang katanya akan lenyap dari kurikulum sekolah sudah selesai dengan dijawabnya topik panas itu langsung oleh Menteri Pendidikan.

Saya tidak akan membahas tentang pelajaran sejarah di sekolah akan tetapi ingin menyoroti sedikit tentang metoda belajar di sekolah yang saya alami. Sejauh ini pendidikan kita menganut metoda yang satu arah, dan guru berperan sangat dominan dalam pelajaran di kelas.

Anak murid lebih banyak mendengar saja apa yang diuraikan oleh sang guru, jarang sekali, hampir tidak ada sesi tanya jawab atau pola interaktif.

Di sisi lain penekanan yang sangat di tuntut adalah menghafal dibandingkan tuntutan untuk mengerti apalagi beropini.

 

Baca juga: Bank Dunia: Belanja Pendidikan RI Terbesar di Dunia, tetapi....

Murid menjadi pasif dan melenyapkan inisiatif untuk mau mengerti. Sekali lagi, yang dinilai adalah jerih payah menghapal saja. Kemungkinan besar inilah yang kemudian menghasilkan banyak murid yang menjadi malas dan sangat gemar menyontek ketika ujian.

Produk logis dan masuk akal dari seseorang yang tidak memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam belajar, dan penilaian yang terfokus hanya pada hasil menghapal.

Kisah Anak yang Baru Pulang dari Amerika

Di tahun 1990-an, sahabat saya pulang dari Amerika Serikat, anaknya usia murid SD kelas 5 mulai sekolah di Jakarta. Sudah terlihat dalam 2 minggu pertama sang anak tampak lesu kurang bergairah dan semangat saat harus berangkat ke sekolah, tidak seperti biasanya saat sekolah di Amerika.

Dapat dimaklumi karena anak-anak memang butuh waktu untuk meyesuaikan diri. Beberapa hari setelah memasuki minggu ke-3, sore hari ia melapor kepada bapak dan ibunya bahwa tadi pagi ia dimarahi oleh guru.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com