Citra yang diinduksi (induced image) dibentuk melalui promosi yang dilakukan pengelola destinasi. Gunn menyarankan agar pemasar destinasi fokus pada modifikasi induced image ketimbang organic image karena tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengubahnya.
Pemberitaan sehari-hari, apalagi di zaman yang didominasi oleh pemberitaan melalui medsos, sulit untuk dibendung. Persepsi yang tidak sesuai kenyataan bisa saja telanjur terbentuk di dalam benak calon wisman. Celakanya, persepsi diyakini sebagai kenyataan di dalam benak wisatawan.
Branding juga menyangkut ruang lingkup yang lebih luas daripada sekadar destinasi, karena branding menyangkut enam tingkatan (Hopper, 2002) yaitu:
Nomor satu (country brand) adalah yang paling luas ruang lingkupnya karena menyangkut nation brand. Baru setelah itu di bawahnya, yang menyangkut brand pariwisata.
Untuk membangun brand destinasi yang kuat, tentu tidak lepas dari nation branding. Nation brand mesti dibangun lebih dahulu untuk memudahkan membentuk country tourism brand. Demikian juga Indonesia.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengusung "Wonderful Indonesia" sementara Kementerian Perdagangan mengangkat "Remarkable Indonesia". Semestinya nation brand itu satu.
Ketidakpaduan nation brand tentu akan membingungkan untuk membangun brand destinasi yang kuat.
Kembali ke pertanyaan, mungkinkah mencipta "Bali Baru"? Jawabannya secara teoretis dan praktis, tentu saja bisa walaupun mensyaratkan berbagai aspek yang tidak mudah untuk diwujudkan.
Sasaran-sasaran yang ingin dicapai memerlukan kerja keras dan yang terpenting kerja cerdas.
Jangan sampai sasaran yang begitu ambisius hanya akan menjadi impiah indah, seperti si pungguk merindukan bulan.
Franky Selamat
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tarumanagara