JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap atau panel surya terpasang terus bertumbuh setiap tahunnya. Selain dapat menekan produksi emisi karbon dioksida, penghematan tagihan listrik juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengguna panel surya.
Semenjak diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN, pengguna panel surya dengan sistem hybrid atau on-grid dapat menjual kelebihan produksi listrik ke PLN.
Meskipun PLN hanya membeli listrik hasil panel surya sebesar 65 persen dari tarif listrik per kWh, jumlah itu sudah dinilai mampu menekan angka tagihan listrik pelanggan perusahaan pelat merah itu.
Baca juga: BLT UMKM Diperpanjang, Menko Airlangga Yakin Bakal Dorong Pemulihan UMKM
Penghematan tagihan tersebut pun dirasakan oleh Hery Trianto, yang mulai menggunakan panel surya semenjak meningkatknya konsumsi listrik akibat kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat selama pandemi Covid-19 merebak.
Hery mengatakan, sebelum pandemi muncul, rata-rata tagihan listrik rumahnya sebesar Rp 900.000 sampai Rp 1 juta per bulan. Namun, semenjak Maret 2020 tagihannya melonjak, menjadi sekitar Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.
"Naik 50 persen lebih, intinya konsumsi di atas kertas naik," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (19/1/2021).
Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk menggunakan panel surya guna menghemat tagihan listrik. Hery yang merupakan direktur dari salah satu perusahaan media nasional, Bisnis Indonesia, langsung berkonsultasi kepada mantan menteri ESDM, Ignasius Jonan, terkait vendor penyedia panel surya.
Sebelum memasang panel surya, Hery terlebih dahulu meningkatkan daya listrik rumahnya. Sebab, sesuai peraturan yang berlaku saat ini, pelanggan PLN hanya dapat memasang panel surya dengan kapasitas maksimal setara 90 persen daya listrik terpasang.
Baca juga: Rombak Direksi, BRI Ganti 4 Direktur
Setelah itu, Ia pun bisa memasang panel surya dengan kapasitas 4,1 kWp, seharga Rp 53 juta ditambah biaya penukaran meteran PLN ke meteran sistem on-grid seharga Rp 1,9 juta.
"Habis sekitar Rp 55 juta untuk pemasangan," kata dia.
Dengan sistem kelistrikan tersebut, rata-rata listrik yang dihasilkan perbulannya bisa mencapai 450 kWh.
Dari rata-rata produksi itu, Hery mengaku dapat menghemat tagihan listrik sekitar Rp 600.000 per bulannya, sehingga Ia hanya perlu membayar sekitar Rp 400.000 ke PLN.
"Tagihan saya rata-rata Rp 1 juta. Sekarang saya ini per bulan tinggal bayar Rp 400.000-an," kata dia.
Melihat rata-rata penghematan tersebut, maka tidak perlu waktu lama bagi Hery untuk dapat balik modal dari biaya pemasangan panel surya. Dengan rata-rata penghematan Rp 600.000, maka hanya butuh waktu sekitar 7,6 tahun untuk Hery mendapatkan break even point atau BEP.
Baca juga: Lelang Rumah 2 Lantai di Bekasi Mulai Rp 224 Juta, Minat?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.